Senin, 22 November 2010

Just too good to be true

Kadang gue mikir, kesempurnaan hadir dan nyata jika kita melihatnya dr jauh. Seperti bulan. Dari jauh indah. Begitu dekat, bopeng.

Atau seperti melihat cinta sepasang kekasih. Sempurna melihat jari-jari saling bertaut. Masuklah ke kehidupan dia. Kesempurnaan? Semu.

Banyak orang yang mengejar kesempurnaan. Mereka lupa satu hal, kenyataan. There's this saying: too good to be true.

Jumat, 19 November 2010

Aku. Kamu

Aku. Kamu. Masihkah ada waktu?
Aku. Kamu. Cinta saja tidak pernah cukup. Tapi setidaknya kita sudah mencoba.
Aku. Kamu. Apa masih mungkin? Kau rindu, aku berlalu. Kau berlalu, aku ucap rindu

Aku. Kamu. Masihkah ada waktu?

Aku. Kamu. Gatal disengat pilu. Masihkah ada secarik rindu?
Aku. Kamu. Cinta kita jadi kurban bakaran. Semoga asapnya diterima Tuhan.
Aku. Kamu. Jika cinta bukan dosa, semoga ada jawaban atas segala doa.
Aku. Kamu. Perlahan lenyap dikikis ragu. Tak adakah  jalan lain itu?,
Aku. Kamu. Berguru pada waktu. Mendewasakan rindu.

Iya. Kamu. Topik doaku... *lap ingus*

Aku. Kamu. Tersiksa sepi. Ternyata cinta belum pergi.
Aku. Kamu. Topik doaku. Setiap hari, sepanjang waktu.
Aku. Kamu. Kerinduan berkalang ragu. Mungkinkah Kita bertemu.
Aku. Kamu. Mereguk cinta, mengecap sayang. Di sisa waktu yang hampir terbuang.

Kamis, 18 November 2010

Rindu adalah...

Rindu Adalah….

Mari bicara tentang rindu. Perasaan yang mengganggu, tapi selalu ditunggu. :) Apalagi abis ujan sore-sore gini, pastinya rada-rada mellow ya bok :p
rindu adalah menatap langit senja yang merah, dan teringat kamu menanti di ujung pelangi.
rindu adalah membalas lambaianmu di keramaian, hanya untuk tau kamu melambai ke cowok di belakangku
rindu adalah di dalam mal, dan baru sadar pake sendal jepit yang beda warna
rindu adalah saat seorang cadel berteriak “LINDUUUUU” dan banyak orang-orang yang menghambur keluar rumah dengan wajah panik. #ngekkk
rindu gengaman erat di jari, ciuman di kening, hembusan napas di telinga, bisikan lirih “terimakasih” & desir halus saat cinta menyapu hati

rindu: setiap daun yg menguning, rapuh, terkapar di tanah yang basah. Musim gugur yg tak pernah berganti, dan helaan napas yg tak terganti
R=asa I=ngin N=yium D=ipeluk dan U=h-ugh-an #rindu #diaryzamanSD

rindu adalah gema masa lalu yang terus menggaung sampai kini, hingga nanti, sampai mati….

rindu adalah ketika kamu meng-unfollow aku, tapi masih suka ngintip-ngintip timelineku. And yes, I know u still do. #ketawasetan

Rindu adalah sandal jepit kesayanganku yang kau putuskan talinya, dan kau larung ke samudra pasifik, you bitch! #kokmarahmarahyaa
rindu adalah embun yang menyapa, salju yang menderu, dan malam yang membeku. Aku nafikan karena kau beri rindu yang membiru #superdangdut
rindu adalah ketika kau ambil konstelasi gemini dan mempersembahkannya kepadaku, tapi kutampik, karena aku aquarius sejati #eaaaa
rindu adalah tatoo namaku di lengan kananmu kau hapus dengan setrika panas, dan aku menyaksikannya sambil tertawa puas #ketawasetan
rindu adalah berlian yang kau kuburkan dan dijaga Hades dan Poseidon sekaligus, kuambil dan kuhempaskan ke gugus Orion.#makantuhrindu
Rindu adalah ketika kau mengulurkan tangan kananmu, kutebas tangan itu dan kuumpankan ke burung nasar #sadis#balasdendam
Rindu adalah ketika aku mendamba air dan kau menuangnya di padang pasir #bunuhdiri
Rindu adalah ketika kasur yg kau sediakan tak lain dari papan berpaku. Situ pikir sini fakir dari India?
Rindu adalah ketika detak jantungku mendaraskan satu nama, dan kau di sana menulikan telinga #curcol101Ngekkkkk!!!
 Rindu adalah lintah yang menghisap habis setiap senyum saat kau lupa menyapa #eaaaa #curcollagi
Rindu telah mengikis sayap-sayap pengharapanku, hingga aku terhempas ke tanah. Sekarang aku tak mau lagi merindu #curcol

Rindu adalah ketika sinyal internet terbang ke surga, sedang aku di bumi semalaman merana….

You Had me at.....

You had me at your smile. You lost me at your breath.
You had me at your bariton voice. You lost me at the high-pitched nenek sihir laugh. Kthxbai.
You had me at your manly nods. You lost me at your Tattler pose. Blah.
You had me at your cool iPad. You lost me at your “sorry sorry sorry jek..” ringtone. #muntahkeong
You had me at your smart flirts. You lost me at your “sante ajah.. Kena gigi uang kembali, bok..” phrase. #naikinrisleting
you had me at your ‘tangan-menggerepe’ avatar. You lost me at your close-up avatar
You had me at your cute avatar. You lost me at your “k4k, f0lb3k aQuw EeEEaaa…”
You had me at your witty tweets. You lost me at “Tuhan, apa aku tak layak dicintai? Tuhan, kenapa aku gendut item jelek?”#mendadakpingsan
You had me at your sweet smile. You lost me when you did the fake latah thing. “Eh konti konti!!!”
You had me at your hot yummy body. You lost me at your “cyinnn… Fitness di sindang banyak brondong cucok!”
You had me at your sweet profile pic, u lost me at ur first ‘Halauw? Mo bicara dgn sapah yah?’ on the phone.
You had me at your cynical-smart tweets. You lost me at your “kalian gak cerdas budaya” line.
You had me at your “sore.. Is this seat taken?” You lost me at “conggggs… Sini! Bangkunya masih kosong, nih!” #truestory
You had me at your smile and “excuse me, can you help me….” You lost me at “thanks before”. It’s “thanks in advance”, tuyul!
You had me at hello. You still have me now. #melolong
You had me at “makanan di sini enak, deh. Yuk, duduk.” You lost me at “…. Tapi kamu yg bayar, ya?” MONYEDH!
U had me at, “Sy suka meditasi.” U lost me at, “Kapan2 kita bertapa bareng yuk di Gunung Kawi.”
U had me at ur kaos ketat. U lost me at “Inspection” movie.
You had me at “Look at the sky. It’s pink and so romantic..” You lost me at “Do you think there’s a pink G-string at Metro?”
You had me at : “Walk beside me, not behind me…” You lost me at : “….krn aku pengen kentut.”
U had me at, “Saya suka buku2 kamu.” U lost me at, “Apalagi yg judulnya Cassanova.”
You had me at “Hey! How are you?! Udah lama gak ketemu, ih! Kangen!” You lost me at “Pinjem duit dong…” PRET.
You had me at :”Long time no see, old friend.” You lost me at : “Mau jadi downline gue gak?”
You had me at “Semalam gue nonton pelem seruuuu!” You lost me at “Ceritanya si Pitri nampar-nampar Miska…” MEH!

Embuh ah..

Suatu hari, ketika kamu pulang dari kantor tanpa punya seseorang yg menunggumu, ketika kamu belum makan seharian dan ga ada yg peduli...

Sayangnya, nggak semua orang menghargai itu. Nggak semua orang bisa menghargai seseorang yg perhatian, yg cemburu, yg peduli sama dia.

...Ketika hari ulangtahunmu kamu rayakan meriah bersama teman-teman kantor, tapi saat pulang ke rumah kamu kembali sendirian...

...Dan yg terpenting, ketika kamu sudah terlalu lama tidak pernah mendengar ucapan "I love you" dari seseorang spesial...

...Ketika kamu bangun di pagi hari tanpa seorangpun yang bisa kau kecup atau sekedar kau peluk...

...Ketika kamu kedinginan di malam musim hujan, dan melihat yang ada di pelukanmu adalah bantal atau guling...

...Ketika kamu belanja di supermarket sendirian, ketika kamu kelaparan sendirian tengah malam dan menu di piringmu adalah mi instan...

...ketika rutinitas harianmu adalah bangun-kerja-pulang-tidur, ketika kamu nggak punya ssorg yg spesial utk diajak ngobrol sebelum tidur...

Kita butuh pasangan bukan utk membuat kita bahagia. Kebahagiaan dtg dari dlm diri. Kita butuh pasangan utk berbagi kebahagiaan itu. :)

Ketika saat itu tiba, kamu akan menemukan dirimu bertanya pada diri sendiri... "Apa yang telah kulewatkan?"

sebuah makan siang yang absurd

Ada yang pernah makan sendirian di restoran, dan menikmati setiap momen kesendirian? Walaupun banyak org yg lagi sama pasangannya?
Imagine this. You're alone, enjoying your food. There are many couples at the nice restaurant. And the waiters give you the pity look
A look that says "That poor guy/girl. All dressed up, but eating those fancy food, alone. I wonder if s/he is jealous at the couples here."
Now, I enjoy eating alone. Some say it's pathetic, I think it's liberating. I can order whatever I want, and play a game! The game is:..
The game: make a scenario! Misal ada pasangan dipojok, holding hands. Fancy dress. Look at each other in the eyes...
... Nah, gue sering merhatiin yg model begini, dan suka sotoy sendiri nebak apa yg sedang mereka pikirkan. It's really fun.
Karena gak bisa dengerin apa yg mereka omongin, gue suka nyiptain dialog sendiri. Tentu saja, dialog yang seenak jidat gue. :))
Ilustrasi: Cowok *sambil megang tangan cewek*: Gue mau makan aja dipegangin mulu tangannya. Cewek: Ngeliatin mulu. Pengen gue colok garpu?
Teruskan dialognya, sesuka hati. Cowok: Woi, udahan woi pegangannya! Capek! Cewek: Duh, cowok di ujung situ lucu ya, bok! Pengen gue ciyum..
Kalo imajinasi lo udah liar ke mana-mana, gue yakin, makan sendirian di resto nggak bikin bete karena ngeliatin org pacaran. :))
Kalo waiternya masih ngeliatin dengan tatapan merendahkan dan kasihan, jangan kasih tips gede. Show him/her who's the boss! :))
Tergantung berapa lama makan sendirinya itu, tiga tahun makan sendiri? sama sekali tidak enak
Kesimpulannya: rata-rata gak masalah kalo makan sendirian. Sebenarnya: makan sendirian terus-terusan itu gak enak. *UHUK!*
Denial is the easiest way to make us feel better, even for a while. The truth is, it's exhausted to live in lies.
makan sendiri gak masalah, makan berdua gak masalah, makan rame² gak masalah, asal kenyang...


nih beberapa pendapatsahabat, tentang makan siangnya masing masing
Gue sering makan sendirian, mbak2 Warteg yg bahenol itu sering ngegodain. ( ariep, bermimpi basah tentang Mbak bahenol)
Saya makan sendiri biar ga ketahuan rakus. (endie , editor, memelihara naga merah di perutnya)
Makan sendirian itu enak, bisa savouring your food, makan ga ada yang ngeburu buru, sambil santai ngelamun ( viona, pengen ditemenin)
Apa salahnya makan sendirian? toh para couple itu ntar juga putus dan makan sendirian! ( isan , berharap ada yg bayarin makanannya)
Sering. Batre hape dan ipod penuh, ada buku buat baca/coret2an. Duduk di pojok yg bisa ngeliat semua (peggy , liatin gue juga, dong!)
I enjoy eating alone. Lots of people don't realize that others are actually don't care. (rahmo, secretly wishes someone care..)
Makan sendirian Gak ada acara cemburu-cemburuan when the world is mine. ( wira, pengen dicemburuin lagi sih...)
I can make hentai sketches without having to worry about people noticing my horny face in restaurant ( Jaka , hobby nya horny) :))
Saya sering makan sendirian. Sejak jomblo ini jadi makin sering. dulu juga sering nonton sendirian #curcol (pokman, pengen pacaran lagi)
Makan sendirian? I did that, sometimes it's killing :) (ray, emoticon senyumnya, untuk menghibur diri)
Gua sering, minimal seminggu 1x sepulang kerja, entah di kafe atau restoran. just me, books and ipod. (eka , pengen punya pacar!)
Makan sendirian? It's heaven. Makan banyak ga peduli, denger MP3, baca buku. Three in a row. (elie , pecinta puisi)
Aku lebih suka pantai. Ato di tempat yg emg enak buat merenung, menikmati kesendirian, dll ( dika , masih jomblo sampe skr)

kau

Kau, dengan senyum nakal cenderung binal. Aku menghela napas, tersengal-sengal.

Kau. Ketika rumus fisika majal, matematika menemui ajal, kimia tak lagi berguna, dan biologi hanya kata tanpa arti.
Kau, tak terdefinisi.

Kau, imajinasi tak terjangkau logika. Aku, mencoba menyelami celah dibalik kamar usang bernama: rasa.

Kau, rangkaian nada yang berdenting mengiring harmoni. Aku, terdiam mengurai dan menyesap setetes rindu.

Kau, dengan aliran airmata yang membuat untaian kata tak lagi bermakna. Aku, membeku. Terpaku.

Kau, pelangi hitam putih. Yang mengalahkan keindahan prisma matahari.

Tanpa Jeda

Sudahlah. Mungkin dua hati yang berdentum tak butuh harmoni.
Kepastian itu membosankan! Kesempurnaan adalah jurang pemisah. Sudahlah

Mungkin kita tercipta untuk melengkapi. Mungkin konsep sejati hanya ilusi.
Mungkin hujan adalah cinta langit kepada Bumi. Mungkin.

Pertempuran dua hati. Mencoba mengikat dan dan saling memiliki.
Mereka lupa konsep paling luhur. Cinta tak akan pernah hancur.

Tinggal getir yang terkecap di lidah. Maaf yang sia-sia. Cinta yang terhempas karena nafsu yang menggelora.
Satu kata tersisa: Percuma.

Mereka membicarakan tragedi. Merangkai kalimat berbunga yang terbungkus agitasi.
Membungkus cinta dengan bingkai patah. Percuma.   


Lalu kita saling membelakangi. Meninggikan ego yang tak lagi berarti.
Setelah hampa menyapa, semua sudah sia-sia. Percuma.

Kita bergulat dgn kata, jari saling menuding dan hati berdarah.
Meleleh melalui ego yang mendidih. Berhenti di sudut jiwa yang perih.

Ketika senja dan malam bergulat dalam diam, pedang jingga cakrawala mulai menghunjam tajam.
Menelikung dalam kegelapan. Hitam.

Ketika paradoks berevolusi, dan ironi adalah produk gagal masa kini.
Lalu, kepada siapa menitipkan nurani?

Karena dusta adalah pikiran jujur yang terpotong di tengah lidah.
Takut dimuntahkan, pahit ditelan.

Sampai hening memekakkan. Sampai jeda tak tertahankan.
Sampai aksara kehilangan arti. Sampai hampa menemukan getir di lidah.

Jika harapan adalah riak yang terus bergetar, aku ingin menangkap gaungnya walau samar.

Jika "aku mencintaimu" tak lagi berarti, mengapa kita rela menunggu sampai buku jari memutih?

Jika "selamanya" adalah utopia, mengapa kita mencintai dusta?

kepada, Jika

Kepada inspirasi yang sedang tergantung di langit tak bertepi, mari bersahabat dan peluk aku erat.
Jadikan malam ini lebih berarti.
Jangan enggan menghampiri, buang angkuh mu dan rengkuhlah rindu. Karena kita adalah dua sisi koin usang. Ditakdirkan berpasangan.
Aku rindu melukis aksara, merangkai kata, memberi jeda pada spasi dan mengukir puisi.
Wahai inspirasi, maukah kamu berbaik hati?

Jika dendam adalah bintang yang memudar, apakah benci adalah bisa yang menular?   
Jika cinta adalah api yang membara, apakah kasih adalah hangat yang meraja?
Jika kangen adalah danau yang tenang, apakah rindu adalah ombak yang menantang?

Kepada gairah yang meletup. Kepada hasrat yang meredup.
Dan sebaris doa yang tertangkup. Adakah hati yang terketuk?
Kepada cinta yang kita puja. Kepada hati yang beresonansi.
Dan rindu yang menyelinap di sela jari. Peluk aku, sampai pagi.

single monolog

JiWA 1 :"Lo tau, rasanya ditinggal mati orang-orang yang lo sayangi?"
JiWA 2 terdiam
JiWA 1 :"Dan lo tau gak, gimana rasanya kalo orang yang lo sayangin itu
        meninggal dengan cara dibunuh sama orang yang kemudian bunuh diri? "
JiWA 2 menggigil melihat aura jiwa 1 yang tampak tidak sedap
JiWA 1 :"kalo lo pernah ngalamin yang gue alamin, lo bakal berharap
        kalo surga dan neraka itu benar-benar ada !"

Damn.. Lagi??

Gue nyerah..
Ternyata 'Ganggu' itu semakin ganggu.. Gue gak tahan..

Akhirnya gue memutuskan buat memutuskan hubungan..

Memang gak mudah..
Tapi untunglah Tuhan adil.. dia langsung terganti dengan yang (semoga) lebih baik..

aku benci....

Aku benci jadi ngelamun terus..
Aku benci jadi gak konsentrasi..
Aku benci jadi grogi..
Aku benci jadi berharap-harap gak jelas..
Aku benci jadi ngeliatin HP terus..
Aku benci jadi parno pas ngedenger bunyi telfon dan sms..
Aku benci jadi penasaran..
Aku benci jadi pecundang..
Aku benci jadi ngelewatin rumahnya berkali-kali..
Aku benci jadi ngedeketin temen-temennya..
Aku benci jadi males kerja..
Aku benci jadi ngebayangin muka dia terus pas lagi pup..
Aku benci jadi ngebayangin kissing ama dia..
Aku benci jadi ngebayangin ML ama dia..
Aku benci jadi ngebayangin mukanya terus..
Aku benci jatuh cinta!!!!

Bahasa tubuh

Cahaya begitu terang…
Tapi pupil matamu kian membesar..

Apakah hidungmu baru ditusuk lebah?!
Kamu terus menggaruknya..

Ada yang lucu?!
Kamu tak berhenti tertawa..

Bukannya cangkir itu kosong?!
Kamu tetap dengan posisi siap meminum..

Bajumu kekecilan?!
Kamu tampak tidak nyaman..

Lupa pake celana dalam?!
Tanganmu seperti menutupi bagian vital..

Kekurangan oksigen?!
Dadamu nampak membesar..

Hidungmu kotor?!
Jarimu tampak seperti ingin mengupil..

Lagi nahan pipis?!
Pahamu nampak begitu terapit rapat..

Bibirmu panuan?!
Gigimu rajin sekali menggigit bibir..

1001 ciri pembohong..ada dirimu semua!!!!!!!

Scary thought

Seorang wanita tewas teraniaya dalam sebuah mobil.
Si pelaku ternyata adalah sahabatnya (pacarnya?) sendiri


Sekarang ini gue lagi melihat semua foto-foto temen di komputer gue,
foto-foto Friends list di Friendster, dan juga Contacts list di HP.

Gue ngeri, kira-kira diantara mereka ada yang bakal bikin gue mati suatu saat nanti gak ya? ( Na'udzubillahimin dzalik! )
Atau sebaliknya?! ( Na'udzubillahimin dzalik! )

Kebayang gak?
Orang yang sangat kita sayangin saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Orang yang kita temuin di jalan saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Orang yang satu Cafe, kantor, apapun saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Mobil yang kita pake saat ini adalah alat yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Barang yang ada di sekitar kita saat ini adalah alat yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kamar yang kita tempatin saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Jalan yang kita lewatin saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Jembatan Pasupati yang lagi dibagun saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kamar mandi yang kita pake selama ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kita mati disaat kita belum siap mati...............

the truth about lying

Pilih mana?

Kebohongan yang menyenangkan atau kejujuran yang menyakitkan?

“Mah, ngelahirin sakit gak sih? Takut liatnya iihh!”
“Ahh, rasanya kaya lagi pup kok. Gak akan sesakit yang kamu bayangin”

“Om, tadi liat petir serem banget!”
“Loh kenapa serem? Coba perhatiin, petir bikin langit indah lagi, kaya nonton perang laser…”

“Kayaknya dia membuang gue perlahan deh..”
“Bukan, waktunya lagi gak tepat. Saat ini bukan dia yang terbaik”

…………..
“Lo terlalu baik buat dia”

…………….
“Ada terlalu berbakat dalam bidang pekerjaan ini.”

Tanpa sadar, kita berusaha membuat sudut pandang yang menyenangkan disertai sisi positif (yang kadang bohong) untuk menerangkan objek yang sebetulnya mengerikan (atau menyakitkan?) pada anak kecil atau seseorang yang tidak ingin kita sakiti (dengan kenyataan?)

Gak heran, kalo anak kecil dengan kepolosannya akan melihat dunia sangat menyenangkan. Atau tepatnya dunia yang telah kita bohongi sedemikian rupa agar terlihat menyenangkan.
Kenapa kita tidak dibiasakan untuk menerima dunia apa adanya, kenapa kita tidak dipersiapkan untuk menerima kejujuran yang menyakitkan dari kecil.

Bilang saja terus terang kalo melahirkan adalah momen indah sekaligus sakratul maut antara hidup dan mati.

Terangkan juga kenyataan apa yang menyebabkan adanya petir sekaligus cerita beberapa manusia yang gosong terkena petir.

Dapat dibayangkan, berdasarkan pengalaman sendiri, kita semakin bertambah umur, akan semakin terbelalak mata atau bila kurang beruntung, akan jantungan, melihat ternyata kenyataan di dunia begitu mengerikan; tidak seindah (yang ternyata) kebohongan-kebohongan yang kita dapatkan.

Manusia-manusia semakin bertingkah polah busuk demi kesenangan pribadi, atau dendam pribadi.

Saling memfitnah dan membohongi. Sekali lagi demi kesenangan pribadi, atau dendam pribadi.

Rasa takut, rasa tidak aman semakin menjadi-jadi.
Kemanakah kebohongan kebohongan yang menyenangkan itu?

Karakter Mary yang diperankan dalam Kirsten Dunst dalam film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, mengatakan, “It’s beautiful when you look at a baby. It’s so pure and so free and so clean. And adults are,,like,, this mess of sadness..and phobias…”

Dalam film ini pun, kita menemukan dua hal sekaligus berkolaborasi; kebohongan yang menyenangkan dan kejujuran yang menyakitkan : You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.

Atau coba periksa lirik lirik lagu yang mengagung-agungkan kebohongan yang menyenangkan..

Sheryl Crow : I shall believe
“…..Even it is a lie, say you will be al right. I Shall believe…”

Strong Enough
“…...Lie to me, I promise I'll believe….Lie to me, but please don't leave..”

The cardigans : Love Fool
“…..Love me Love me… Pretend that you love me…”

Tapi harus diakui, kebohongan yang menyenangkan dan kejujuran yang menyakitkan bukanlah pilihan, tapi satu kesatuan.

Kebohongan yang menyenangkan dibuat untuk menutupi kejujuran yang menyakitkan.

Hmm..atau kah kita sekarang ini hanya diberi satu pilihan? Kebohongan dan kejujuran yang sama-sama menyakitkan?

Ataukah kita hanya selalu membuat kesenangan menjadi sebuah kejujuran atau kebohongan yang menyakitkan?

tiga sekawan

Ada tiga orang sahabat yang tak terpisahkan, si Awal , si Tengah , dan si Akhir.

Kalo si Awal lagi baik, biasanya si Tengah ama si Akhir juga baik baik. Kalau pun sampai ribut, bakal di bela si Awal.

Tapi kalo si Awal lagi buruk, biasanya si Tengah akan gamang; bisa baik atau buruk, tapi si Akhir selalu buruk. Kalo pun si Akhir baik, biasanya si Awal akan membuatnya menjadi buruk.

Orang-orang lebih memperhatikan dan senang pada si Awal dan si Akhir. Si tengah sering diacuhkan.

Orang-orang sering lupa pada si Tengah. Padahal dia hebat; bisa memanipulasi si Awal, dan membuat jelas si Akhir.

Bisakah saya mengakhiri awal yang buruk tanpa harus menderita di tengah-tengahnya?....

Heart Hurts

Ada empat hati yang pernah singgah..

Hati pertama sudah tertambat hati yang lain
Hati kedua sudah hilang ntah kemana
Hati ketiga minta kembali
Hati keempat mengganggu hati-hati lainnya..

Sedangkan hati saya ,

Menambat hati pertama
Menghilangkan hati kedua
Memanggil hati ketiga
Menyayangi hati hati yang diganggu hati keempat.

Akhirat tanpa Akhir

Darah di hati Alia yang tercabik, sudah mulai membeku. Sekaligus membekukan harapan dan nalarnya.

Kini dia hanya bisa menangis tanpa air mata, tertawa tanpa suara. Sampai akhirnya Alia dan Valby kembali bertemu berteduh dari hujan petir di pendopo tua.

“Gue sedih, gak tahan, mau mati aja”, Alia memulai percakapan sambil setengah berbaring di bantal besar berwarna hitam.

“Yakin lo abis mati bakal happy? Gue gak mau pas lo mati, malah tambah sedih. Ntar jangan jangan lo curhat ke gue pengen hidup lagi…. Kan serem?!


Dengan memakai logika yang terbatas, kita sering sok tahu menalarkan perasaan manusia yang dicabut ajalnya..

“Hidup udah terlalu absurd buat gue. Kayanya gue udah gak bisa nerima dunia lagi. “
“Terima dunia apa adanya deh.. Ngomong-ngomong, apa sih yang ada di benak lo kalo lo mati?”
“Mmh…. ringan, terlepas dari segala macam beban, kesedihan, dan rasa sakit”
“Heran , giliran buat mati aja, lo punya fikiran positif! Giliran mikirin hidup, negatif terus..”

Tapi benarkah beban, kesedihan dan rasa sakit tersebut akan hilang?

Atau jangan-jangan malah akan berlipat-lipat?

Akankah kita diberi tempat kebahagiaan di akhirat yang abadi nanti?

Bila ternyata kita hanya akan tetap mendapatkan kesedihan, beban, dan rasa sakit di akhirat, apakah nanti akan ada lagi perasaan ingin bunuh diri?

Katanya sekali orang bunuh diri, bakal terus punya kecendrungan yang sama?

(Sekali lagi) Akhirat kan tanpa akhir…?



Titip sedikit ruang saya untuk disana,

Tidak apa-apa tidak sebagus yang dibayangkan,

Asal bisa bahagia dan nyaman bersamaMu,

Bukan bersama hal-hal yang membuat saya menderita..

andai saja dan atau jangan-jangan

Adalah musuh manusia.
Membuat resah menjalani hidup
Membuat gelisah mengejar mimpi.

Kita dikuasai pemikiran
Pemikiran ‘andai saja’ dan ‘jangan jangan’

Padahal mungkin saja,
kita sekarang ini sudah pada level sempurna,
dimana momen ini adalah saat yang terbaik

Hanya saja kita kurang pintar bersyukur dan tidak menyadarinya,
sambil tetap bergumam,… ah andai saja…….
atau jangan jangan….

Perang Analogi

Lidah satu : “Orang bilang gue itu misterius”

Lidah dua : “ Sebenernya gak misterius sih. Asal tau kuncinya. Cuma aja, lo itu suatu ruangan yang mempunyai pintu berlapis. Tiap pintunya lo kasih 3 gembok kunci dengan 10 angka kombinasi.”

Lidah satu : “Dan ruangan gue itu gelap. Gak ada penerangan sama sekali”

Lidah dua : “Hmm, kalo gitu. Berarti kita harus masuk ke ruangan itu tanpa pintu, mungkin dengan cara membobol dari atas… atau bawah. Dan jangan lupa bawa senter”
Ingatlah wajahku,
Bila matamu melihat wajah yang sekiranya berpeluang untuk kau miliki..

Ingatlah sentuhanku,
Bila kulitmu tersentuh oleh seseorang yang sekiranya berpeluang untuk kau miliki..

Ingatlah candaku,
Bila kau tertawa oleh sebuah canda dari seseorang yang sekiranya berpeluang untuk kau miliki..

Ingatlah hatiku,
Bila batinmu tergugah hati seseorang yang sekiranya berpeluang untuk kau miliki..

Ingatlah penisku..
Bila lubang kemaluanmu merasakan nikmat dari penis seseorang yang sekiranya berpeluang untuk kau miliki..

Ayolah!!!
Apa dirimu sudah hilang ingatan?!?!


    Orang yang tidak pernah ingkar tidak serta merta bisa dicap setia, karena setia
    merupakan title buat seseorang yang mampu menolak / menghindar ketika peluang
    ingkar itu datang..
    Bila seseorang terlihat setia..Mungkin karena
    dia tidak pernah mendapatkan peluang itu…

Ironis

Kenapa harus mual melihat tai?

Kenapa harus eneg melihat upil?

Kenapa harus ngeri melihat darah?

Kenapa harus jijik melihat muntah?

Toh itu semua datang dari dalam tubuh lo sendiri!!!

Kenapa gak lo keluarin saja tai, upil, darah, dan muntah lo secara bersamaan untuk membuktikan bahwa diri lo memang MENJIJIKAN!!

All in the best timing....

Hari ini, gue baru sadar kalo Tuhan selalu ngasih sesuatu dengan pemilihan waktu yang terbaik buat gue... (juga buat umatnya yang lain!)
Sayangnya kita sering gak ngeh, gak sabar, ama pemilihan waktu yang diberikan Tuhan.

Baru-baru ini gue ketemu lagi dengan seseorang yang bukan orang baru dalam hidup gue. Orang lama yang sempet bikin hidup gue jadi 'bodoh'. ( bodoh =
keadaan dimana tidak konsentrasi menghadapi sehari-hari karena memikirkan seseorang secara terus menerus dengan alasan yang tidak jelas )

Lain dulu lain sekarang. Sudut pandang dan suasana hati gue sekarang sudah berbeda.

Mungkin karena gue sudah menemukan orang lain.
Mungkin karena gue sudah menjadi orang lain.

Apapun!

N.E.R.D, Ashanti, Jamie Cullum, Linkin Park, Lindsay Lohan bahkan sampai Dian Sastro pun adalah sederet orang-orang yang mempunyai pilihan waktu yang tepat ketika tampil buat pertama kalinya, menjadi sesuatu yang booming

Resep makanan terbaik bukan dari bahan-bahannya, bukan dari cara penyajiannya, tapi dari rasa laparnya..
Semakin lapar, semakin enak..
Biar punya rasa lapar, butuh waktu..

Sama ketika lo ngelakuin Sex dengan orang yang hanya sekedar pemuas nafsu atau dengan yang bener-bener lo sayang..

Kenapa gak gue tunggu aja ketika nafsu itu menjadi rasa sayang ?!?!

Seandainya kita dikasih kesempatan buat memperbaiki satu moment di masa lalu, mungkin kita gak akan bisa kembali ke tempat dimana kita berada sekarang.. karena Change one thing, Change everything

Dan apakah itu bakal jadi baik? Cuma Tuhan yang tau...

vabyo

gue dan dunia

Gue berjalan tertunduk di antara bebatuan jalan nista..
Gue tertunduk menangis di antara hamparan manusia dusta..
Gue menangis tersedu-sedu di antara lukisan-lukisan hampa..
Gue tersedu-sedu letih di antara ucapan-ucapan durhaka..
Gue letih tak berdaya di antara tangan-tangan belaka..

Setiap jalan nista berlalu dengan tanpa peduli..
Setiap manusia dusta berbicara tanpa perasaan..
Setiap lukisan-lukisan hampa terdiam membisu..
Setiap ucapan-ucapan durhaka datang saling menghujat..
Setiap tangan-tangan belaka menyentuh untuk melukai..

Apakah gue memang buruk..?
atau dunia ini yang memang buruk?

Apakah gue yang bejat..?
atau dunia ini yang memang bejat?

Apakah gue penuh kebencian..?
atau dunia ini yang memang penuh kebencian?

Salahkah gue menyalahkan dunia..?
Atau dunia yang sepatutnya nyalahin gue?


Entahlah...

petuah bijak

+ Lo ati-ati ya ama dia?
- Iye.. Tenang aja. Gw kan ama dia sama-sama predator.
+ Nah itu dia. Biarpun dua-duanya predator, salah satu bakal jadi mangsa!!

bukan sinetron

Suatu malam di salah satu tayangan malam TV swasta,
mereka meng-interview salah seorang wanita PSK
yang mengaku – profesinya ini - telah ‘direstui’ oleh orang tuanya.

Saat ditanyakan bagaimana komentar ayah dan ibunya tentang profesi kupu-kupu malam
yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tersebut, dengan tenang PSK itu menjawab..
“Mereka sih Cuma berpesan agar saya nggak sampai macem-macem.. “
Waw..?
Saya penasaran dengan - apa ya batasan ‘macem-macem’ dari orang tuanya itu?

vabyo

Nalar Berputar

Statement dari beberapa sahabat dan bukan sahabat baru baru ini,
terpaksa membuat nalar berputar-putar dan menabrak pagar pagar logika saya...

The War of The Gender
+ Tiap orang pasti punya dua sisi, sisi jahat dan sisi feminin..
(Jadi baik = feminin? Dan laki-laki itu jahat ?!)

Penis baek
+ Gw gak nyangka suami gue ternyata kontolnya panjang, padahal dia kan baek banget?!?!
(Jadi laki-laki yang baek mestinya berkontol pendek?)

Peri(h) Bahasa
+ Aduh dia tuh orangnya ‘nila sebelanga rusak susu setitik..’..
(Sifatnya ganggu..bener-bener ganggu... seganggu ganggunya ganggu.. ganggu....,
 kalo ampe ada bagusnya pun udah gak bisa nutup kegangguannya)

Star Syndrome
+ Biasa deh, sindrom seleb baru, tiap kali ngomong pasti di kalimatnya ada nama artis lain yang udah jadi temen deketnya...
(Sindrom artis baru atau sindrom orang yang punya temen yang baru jadi artis?)

Hemat Energi
+TV lokal sekarang jam tayangnya dibatasi cuma ampe jam 1 an dalam rangka hemat energi
(Hemat energi nya ternyata cuma berhasil buat yang ‘pasrah’. Yang lainnya sih tetep usaha:
Pasang TV Kabel, Internet, Borong DVD, nambah persediaan kondom... Tambah boros gak sih?)

+Presiden telah meminta pengurangan jumlah konvoi kendaraan presiden dan wakil presiden untuk penghematan.
Toh, banyaknya mobil konvoi tersebut bukan untuk kenyamanan, tapi keamanan..
(Bukannya aman itu bikin nyaman? Bahkan konon nyaman itu diambil dari bahasa sunda: Nya Aman.. = Ya aman doong.. )

Pinter Pantat
Lo kalo udah bego gak usah sok pinter!
(Bedanya?... Hiks)

Useless Joke
+ Masih berlaku gak sih hari gini moto ‘ 2 anak cukup, laki perempuan sama saja’?
( Hari gini moto yang berlaku, ‘ 2 pasangan cukup, laki perempuan sama saja ’ )


Not Useless Facts
Planet bergerak semakin lambat, jadinya rotasi bumi harus disesuaikan ama waktu.
Jadinya, akhir 2005 ini menurut livescience.com bakal ada penambahan 1 detik.
Dan ternyata penyesesuaian waktu yang lebih frontal pernah dilakukan tahun 1582.
Waktu itu Paus Gregorius XIII memotong 10 hari, jadi habis tanggal 4 oktober langsung jadi 15 oktober..

Minggu, 14 November 2010

Love the One You're With

Bangun pagi..
Hampa..
Ngantuk..
Manasin mobil..
Stel Radio..
ada suara Rieka (mantan) the Groove..(sekarang roeslan)

Mengapa ku harus begini, diriku terasa sepiiiii

Anj**g!! Kok jadi dalem ban g e t gini ya?

Padahal hidup gue termasuk orang yang selalu ramai, dipenuhi orang-orang yang menakjubkan. Kerjaan udah dapet. Cinta menyenangkan.

Hidup memang gak pernah puas.
Setiap detik..
Setiap menit..
Setiap jam..
Selalu ada pencarian..
Pencarian yang lebih baik

Mencari hati yang lebih baik..
Mencari rumah yang lebih baik..
Mencari pekerjaan yang lebih baik..
Mencari sahabat yang lebih baik..
Mencari pegangan yang lebih baik..

Semua orang saling menjegal..
Semua orang saling menipu..
Semua orang saling menertawakan..
Semua orang saling menghujat..
Semua orang saling menikam dari belakang..
Semua orang saling menindas..

Demi sebuah pencarian..
Pencarian untuk sesuatu yang terbaik..

Pertanyaan besar buat gue sepanjang waktu : Kapan kita akan tahu sesuatu itu lebih baik, kalo kita tidak tahu apa ukuran baik bagi kita?!

Ngantuk..
Hampa..
Mau tidur...

Why Worry ...

There are two things to worry about; either you are well or you are sick...
if you are well, then there's nothing to worry about...

But if you are sick, there are two things to worry about; either you will get well, or you will die..
if you get well, there's nothing to worry about...

But if you die, there are only two things to worry about; either you will go to heaven or hell..
if you go to heaven, there's nothing to worry about...

But if you go to hell, you'll be so damn busy shaking hands with friends, best friends, ex-lovers, lover (s), etc...

Then you won't have time to worry...

Said i..... but i lied !!

Kadang-kadang apa yang keluar di mulut, gak sesuai di hati. Bukan berarti bohong !!!!!,
tapi emang gue (dan semua orang!) secara gak sadar sering ngeluarin kata-kata penuh kiasan.
Gue berusaha keras, menelaah dan memahami diri sendiri
kata-kata yang sering gue keluarin dengan makna yang sebenarnya..

"Susah tidur nih.." = Gue lagi sedih banget. Tapi gak bisa cerita..
"Ngeroko yu.." = Gue pengen ngobrol lebih banyak sama lo..
"Lagi apa lo?" = Gue kangen sama lo !!..
"Ntar gue telfon" = Gue bakal inget lo terus !! Biarpun akhirnya gak gue telfon..:)
"Ce'mar yu.." = So obvious.. Laper banget! Terserah mau makan dimanapun..
"Bobo di rumah yu?" = Gue pengen lebih deket ama lo.. Terserah akhirnya ngapain..
"Badan gue pegel-pegel" = Gue pengen diperhatiin..
"Tadi gue nelfon lo, tapi mailbox" = Pengen lo tau, kalo gue perhatian ama lo..
"Jangan bilang siapa-siapa ya. Cuma lo yang tau!!" = Sebenernya yang tau bukan cuma lo doang, tapi gue gak mau lo bahas ini ama orang lain (yang sama-sama tau)

Scary Tought

 Scary thought

Seorang wanita tewas teraniaya dalam sebuah mobil.
Si pelaku ternyata adalah sahabatnya (pacarnya?) sendiri


Sekarang ini gue lagi melihat semua foto-foto temen di komputer gue,
foto-foto Friends list di Friendster, dan juga Contacts list di HP.

Gue ngeri, kira-kira diantara mereka ada yang bakal bikin gue mati suatu saat nanti gak ya? ( Na'udzubillahimin dzalik! )
Atau sebaliknya?! ( Na'udzubillahimin dzalik! )

Kebayang gak?
Orang yang sangat kita sayangin saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Orang yang kita temuin di jalan saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Orang yang satu Cafe, kantor, apapun saat ini adalah orang yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Mobil yang kita pake saat ini adalah alat yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Barang yang ada di sekitar kita saat ini adalah alat yang akan bikin kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kamar yang kita tempatin saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Jalan yang kita lewatin saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Jembatan Pasupati yang lagi dibagun saat ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kamar mandi yang kita pake selama ini adalah tempat dimana kita mati suatu saat nanti..

Kebayang gak?
Kita mati disaat kita belum siap mati...............

Hidup Mati

Malam-malam di warung nasi kucing yang hangat;
tempat dimana kami – seperti biasa – para manusia individualis bersatu dalam komunitas inklusif.
Siapapun bebas gabung asal nyambung...
Dalam regukan hangatnya teh anget dan gigitan nikmatnya gorengan,
tiba-tiba satu topik terlontar dengan brutal..

“Hey kawan, ada yang pernah nyoba bunuh diri gak?”
............
........................
................................


Tak disangka - tak dinyana – tak diduga , semua mulut unjuk bicara.
Saking antusiasnya, satu persatu harus menunggu giliran, sesuai dengan urutan kami duduk.

1. Seorang pembawa berita di TV swasta, 26 thn.
Bunuh diri umur 19
Cara Bunuh Diri : Menjeduk-jedukkan kepala dengan keras dan berulang kali ke arah tembok.
Hasil : Pusing 49 keliling plus benjol. Sekarang bergabung dengan komunitas Punker.

2. Seorang mahasiswi tingkat akhir, 27 thn.
Bunuh diri umur 16.
Cara bunuh diri : Minum sprite dan selusin panadol.
Hasil : Kejang-kejang dan tak sadarkan diri sampai di hari berikutnya.

3. Seorang copy writer - creator sebuah Event Organizer, 26 thn
Bunuh diri umur 21, 22, 25
Cara bunuh diri : Minum alcohol cap tikus plus mukul kepala sendiri pake botol bir.
Hasil : Muntah-muntah- mabuk parah – tertawa-tawa dengan darah dimana-mana – dilarikan ke UGD.
        Oh ya, sampai sekarang dijauhi temen-teman mabuknya.

4. Seorang pemilik Production House, 36 thn
Bunuh diri umur 18, 24
Cara bunuh diri : Menabrakkan motor yang ditumpanginya ke arah pagar rumah.
Hasil : Patah tulang rusuk dan kaki. Sim dicabut. Motor dirampas. Kena marah sang ayah. Diusir dari rumah.

5. Seorang sutradara muda, 33 thn
Bunuh diri umur 22
Cara bunuh diri : Gantung diri di kamar kosan pake sarung plus tali rapia.
Hasil : Dapet malu.Entah karena lilitan sarung+tali rapia yang kurang kuat atau beban tubuh yang terlalu berat,
       ia jatuh terjerembab. Langit-langit kamar jebol, karena ternyata lilitannya disambungkan ke bekas gantungan lampu.

6. Seorang marketing sebuah bank swasta ibu kota, 23 thn
Bunuh diri umur 20
Cara bunuh diri : Potong urat nadi pake cutter.
Hasil : Kesakitan sendiri, teriak-teriak minta tolong diantarkan ke UGD.
        Akhirnya berhari-hari demam panas tinggi akibat tetanus.

Seorang full time Facebooker, 26 thn
Bunuh diri umur 19
Cara bunuh diri : Minum berpuluh-puluh butir pil tidur ( sebanyak dua genggaman tangan).
                  Ditenggak sekaligus dengan diiringi lagu U2 – I still haven’t found what i’m looking for.
                  Suasana benar-benar penuh drama.
Hasil : Mata kunang-kunang, panik, sesak nafas, panik, merasa tercekik, panik,
        suara Bono U2 terdengar semakin sayup-sayup, panik.
        Bangun-bangun di Rumah sakit. Dikelilingi orang tua dan keluarga.


Ternyata, sebagian dari kami pernah menantang malaikat maut......
dan sisanya, mengharapkan didatangi malaikat maut,
walaupun akhirnya usaha tersebut gagal.

Uhm, kalau suicide-nya berhasil, mungkin saya sekarang ini sedang menulis di atas kursi pemanggang manusia
yang batang besi panasnya menembus tubuh dari lubang pantat sampai rongga otak,
dengan berpuluh-puluh cangkir minuman wajib teguk yang berupa panasnya teh lava yang dahsyat
plus gorengan arang yang panas membara. Oh ya, panas besinya pun berputar agar semprotan api dari berbagai arah membakar rata seluruh tubuh.

A ‘udzu billahi min dzalika!

Penyebab kami ingin bunuh diri - gak usah ditanya lah - anda bisa bilang karena putus asa,
atau kenyataan yang tidak bisa kami terima, atau sesuatu yang terlalu menyesakkan untuk disimpan di hati,
beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian,

Yah... seakan-akan...
Seakan-akan....
kami tercipta hanya untuk menjadi lawakan dunia....
Dan hinaan para manusia...

Stop..

No drama please..
Saat itu, bunuh diri tampak seperti jalan pintas yang menyenangkan.
Seakan-akan semua masalah akan lenyap, tergantikan dengan bebasnya kehidupan setelah kematian yang benar-benar membahagiakan!
Melayang-layang kesana kemari – tertawa tertiwi – canda cindi...
(kenapa ya, kita punya kecendrungan punya pemikirian positif dengan kematian, tapi selalu su’udzon dengan kehidupan?)

Tapi ternyata maut memang bukan untuk ditantang, meskipun boleh dipertanyakan.
Karena ketika mungkin saja malaikat maut benar-benar ada di depan kami
- siap-siap menjalankan tugasnya untuk mencabut nyawa
- justru satu-satunya yang kami - atau setidaknya- yang saya ingat,
adalah rasa takut yang teramat sangat untuk meninggalkan kehidupan.

Penyesalan dan harapan penuh ke-optimisme-an hidup justru datang di ‘saat-saat terakhir’.
Kematian bisa menjadi pilihan, tidak seperti kehidupan.
Kita bisa mati kapanpun,
boleh nunggu secara alami,
maupun secara buatan (bunuh diri, euthanasia).
Tapi sekalinya mati, tidak akan ada lagi jalan untuk kembali hidup di dunia.

Semua makhluk bisa mati, (apakah itu hewan, tumbuhan, dan juga manusia).
Tapi, gak semua makhluk bisa hidup sebagai manusia.
Nggak usah berkerut marut karena bingung nanggung menelaah maksud dari kalimat-kalimat diatas..
Yang penting, mari siapkan diri menghadapi kematian yang semakin hari semakin banyak cara untuk menghampiri kita..

Hm, hidup itu relatif, mati itu mutlak..

Sabtu, 13 November 2010

Nikah itu sama kaya jatuh cinta, sama-sama nggak bisa ditargetin, sama-sama bakal kejadian disaat yg paling tidak diduga.
Jadi kalo ada yang nanya "Kamu kapan target nikah?", dengan sederhana gue jawab "Nggak tau. Terserah cinta aja datengnya kapan..."
Coba lihat, berapa banyak orang yang target nikahnya umur 27, eh baru 24 udah nikah. Ada yang targetnya 25, eh sampe 40 nggak nikah juga.

Sayang Cinta Hati

Sayang,
Kapan lagi kita duduk di atas embun sambil menghirup kopi?
Ow, lagi sibuk..

Cinta,
Kapan lagi kita menatap senja sambil menikmati hidup?
Ow, lagi gak bisa diganggu..

Hati,
Kapan lagi kita bermandikan keringat malam sambil menertawakan dunia?
Ow, lagi cape..

Sayang, Cinta dan Hati..
Aku lebih sibuk, lebih gak bisa diganggu, juga lebih cape dari kalian..

Kok gak malu sih?!

Fake, Faking, Being Faked

Collins School Dictionary
Fake
1 (noun) A fake is an imitation of something made to trick people into thinking that it is genuine.
2 (adjective) Fake means imitation and not genuine.
3 (verb) If you fake an emotion or feeling, you pretend that you are experiencing it.

"Senyum loe kok tiap ketemu gue fake mulu?"

"Kalo gak lucu, gak usah ketawa fake gitu deh!"

"Fake loe temenan ama dia! Ada maunya kan loe?.."

Begitu sering orang menuduh orang lain 'fake', 'palsu', 'munafik', tanpa sadar kalo dia termasuk dalam golongan orang tersebut..

Gak perlu membela diri apalagi saling menuding siapa yang menipu. Karena kita semua PENIPU (baca: PENIPU )
Karena kita semua FAKE (baca: FAKE )

FAKE bisa jadi merupakan salah satu unsur dari elemen Basa-basi yang udah membudaya di belahan dunia manapun.

Mmh.. Udah berapa kali hari ini kita senyum maksa dengan orang yang sebenernya males banget kita senyumin?

Udah berapa kali kita ketawa dengerin jokes yang sama sekali gak lucu?

Ada beberapa orang yang justru mendapatkan masalah karena kurang pintar memFAKEan sesuatu.

Ada beberapa orang yang justru berusaha belajar "How to be a professional Faker"..

Untung saja manusia gak dikaruniai indra untuk mendengarkan kata hati orang lain, karena disinilah unsur FAKE gak bisa dipake.. Kalo itu terjadi, mungkin 1st world war masih berlangsung ampe sekarang tanpa perlu adanya sekuel..

Mungkin kita FAKE bukan berarti kita pembohong atau nista..
tapi karena kita sebenernya 'berperang' ngelawan ego yang ada dalam diri kita, untuk gak mengeluarkan emosi sebenar-benarnya yang bisa membuat orang lain sakit hati..

My own Dictionary
Fake
4 (slang) A fake is an imitation of emotion made to RESPECT people into thinking that it is genuine.

Useless Facts

7 dari 10 orang di Bandung lebih memilih membeli DVD / VCD / CD di kota kembang di banding membeli di toko-toko penjual DVD / VCD / CD resmi.

Kebanyakan wanita memalsukan orgasme agar pria tidak merasa tidak jantan atau wanita itu sendiri tidak feminin. (fakta ini berlaku juga buat laki-laki, seandainya kita tidak perlu ereksi untuk melakukan sex :)


So..have a great FAKING day!!





vabyo

untittled 1

aku ingin menjadi hari kemarin, memberimu kenangan meski kadang menyakitkan.
aku pengen jadi hari ini, yang bakal selalu memberikan semangat, walo kadanga bakal kerasa menyebalkan.
dan.. aku selalu mau menjadi Besok untukmu, yang akan selalu memberi harapan, walopun mungkin hanya sebuah kebohongan......     tsaaahhhh.....

There's always....

There's always an "EGO" in every "BEGO"
There's always an "IF" to every "LIFE"
There's always an "END" to every "FRIEND".

Jumat, 12 November 2010

Aku belum letih !!!

Aku belum letih mencintaimu. Hanya terseok pelan menyeret hati yang pincang. Nyeri dipatahkan rindu yang lancang.
Aku belum letih mencintaimu. Hanya menepi sebentar. Mata sedikit berair. Perih tergores serbuk asa yang berubah jadi getir.
Aku belum letih mencintaimu. Hanya bersandar sebentar. Sendiri meniti jembatan waktu ternyata memang sukar.
Aku belum letih mencintaimu. Hanya terdiam sebentar. Terlalu sayang untuk pergi, terlalu takut untuk kembali.
Aku belum letih mencintaimu. Mungkin akan terus begitu. Tapi pergilah jika itu inginmu. Karena mungkin... kau sudah letih mencintaiku.

Sssstttttttt

100 % orang akan mengangguk atau mengiyakan bila disodori dengan pertanyaan "Kamu bisa jaga rahasia kan? jangan bilang siapapun ya?"

Sayangnya,Hanya 20 % yang bener-bener bisa jaga rahasia..

Sisanya,35 % bakal membocorkan rahasia ke orang lain dengan syarat yang sama, "eh jangan bilang siapa-siapa ya?"

15 % bakal membocorkan karena benar-benar lupa bahwa itu rahasia..

30 % bakal membocorkan karena pura-pura lupa bahwa itu rahasia..

Kamis, 11 November 2010

Schizophrenia is a chronic, severe, and disabling brain disease.

Beberapa sahabat selalu nganjurin gue buat berobat ke psikiater, karena mereka ngerasa telah menemukan kelainan dengan cara berfikir dan cara gue memandang dunia. Tapi anehnya, gue juga ngerasain kalo diri gue ini emang sering sekali 'berbeda' dengan individu lainnya. Sayangnya, gue gak bisa mendeskripsikan apa 'kelainan' gue ini, tapi orang akan tahu setelah setidaknya menghabiskan waktu selama 3 hari 2 malam bareng gue..
Gue normal!!!!
Gue nggak gila!!!
Tapi ternyata itu semua SALAH.. gue sadar setelah ketemu dengan orang-orang di 'dunia luar'. ('dunia luar' = dunia dimana terdapat komunitas orang-orang yang berseberangan dengan ruang lingkup pekerjaan dan komunitas hidup gue sehari-hari ).
Ternyata, sesuatu yang gue anggap 'biru' selama ini, bukanlah biru.
Ternyata, sesuatu yang saya anggap 'pulpen' selama ini, bukanlah pulpen.
Gue baru sadar, selama ini gue ngerasa normal (atau setidaknya merasa di akui orang-orang terdekat) adalah karena gue berada di lingkungan yang penuh dengan orang-orang yang mempunyai karakter, pikiran dan cara pandang yang nggak jauh kaya gue.
"Kita tidak bisa mencium aroma tubuh sendiri karena indera penciuman kita sudah terbiasa dengan aroma tersebut"
"Tidak akan ada yang mau makan nasi yang ditempatkan di pispot yang masih baru sekalipun..karena otak kita secara otomatis akan selalu mengingatkan pispot dengan kotoran"
Maaf kalo analogi diatas gagal..Tapi bagaimana kalo yang ini...
"Orang gila akan tampak normal di rumah sakit jiwa, karena dia berkumpul bersama orang-orang yang serupa"
"Narapidana di sebuah penjara akan semakin terasah kemampuan kriminalitasnya, karena ia akan banyak berdiskusi mengenai kejahatan bersama narapidana lainnya"
Ada satu kemungkinan, bahwa mayoritas orang di dunia ini memang sudah gila, tapi termaafkan, karena tidak ada yang saling menghakimi gila...
Tapi satu hal yang pasti, dengan semua 'kelainan' atau 'kegilaan', gue (Alhamdullillah!!) bisa bertahan hidup sampai sekarang...
Gue bisa ngeliat langit lebih indah dibanding penglihatan 'orang biasa'....
Gue bisa ketawa melihat dunia, sementara orang lain gak ngerti apa yang gue ketawain....
gue bisa merasa bahagia pada suasana yang 'biasa-biasa' saja....
Gue bisa merasa luar biasa ketika orang lain melihat gue biasa-biasa aja....
Ironisnya, beberapa sahabat yang nganjurin gue ke psikiater itu, datang dari 'dunia' gue. Bisa jadi mereka semua juga 'gila'..
Mungkin kita harus ke psikiater sama-sama...
My version of Schizophrenia is amazing, wonderful, and fabulous.

RUSH ( Is all About Forgiveness... )

Setiap orang menerjemahkan kebahagiaan secara berbeda; beberapa menganggap bahwa kaya akan selalu membuatmu bahagia, beberapa lagi berpikir bahwa memiliki seseorang untuk berbagi akan melampaui apa yang mereka sebut dengan “cukup bahagia”, sementara beberapa merasa bahwa tidak tahu apa-apa akan membuat mereka bahagia. Aku akan katakan bahwa aku ingin termasuk dalam mereka yang bahagia karena tidak tahu apa-apa.

Aku sebut ini sebagai kutukan, tetapi aku sendiri merasa heran karena beberapa waktu aku menikmatinya; aku menikmati memandang mereka, memimpikan mereka menjadi “milikku”, berfantasi liar jika kami bercinta. Tapi kebanyakan aku merasa sangat ketakutan; bagaimana jika aku tidak akan bisa menemukan jalanku sendiri? bagaimana jika sampai mati aku akan tetap seperti ini? Bagaimana jika Tuhan memang menciptakanku dalam keadaan seperti ini?—karena itulah aku ingin tidak tahu apa-apa.

Tipe pemikir, itu yang sering orang katakan padaku. Yah, mereka benar, aku selalu memikirkan banyak hal dalam banyak waktuku—dan kebanyakan yang aku pikirkan adalah hal-hal yang sebenarnya terlalu sederhana da tidak penting untuk dipikirkan. Aku terlalu banyak berpikir sementara aku ingin tidak tahu apa-apa.

Maka berhentilah terlalu berpikir. . .
Ya, sementara ini aku akan berhenti berpikir hal-hal yang tidak perlu karena aku harus turun dari bus sialan yang pengapnya minta ampun ini. Dan aku berjalan sendirian, hujan ini terlalu lebat untukku, hingga aku memutuskan untuk berteduh dulu di sebuah toko yang tutup.

Aku melirik arlojiku dengan cemas, 13.22. Kuliah Arsitektur Hijau 13.30. Aku heran sendiri kalau nanti aku tidak terlambat. Semoga. Dalam hati, aku mendengar diriku sendiri menyumpahi hujan ini. Siapa yang suka hujan? Karena aku sedang tidak suka.

Ah ya, dan aku tidak suka ketika ada mobil melintas di jalanan yang basah dengan kecepatan tinggi hingga membuat genangan air terhambur ke mana-mana, bahkan ke arahku. Sekali lagi aku menyumpah. Dan ketika sebuah bus pelan-pelan berhenti di depan toko tempatku berteduh, aku mundur hingga aku bisa merasakan dinding toko beradu dengan punggungku.
Beberapa orang turun, kebanyakan mereka pintar; karena mereka sepertinya telah menduga bahwa akan turun hujan sehingga mereka telah siap dengan payung mereka.

Dan di sanalah aku melihatnya, dalam polo shirt warna ungu gelap dan jins belel, dengan tas ransel memeluk erat tubuhnya, serta topi yang sebenarnya terlalu aneh untuk kepalanya. Dia berlari ke arahku. Sempat dia tersenyum kepadaku, dan kubalas sekenanya. Setelah mendapatkan tempat di bagian lain teras toko yang teduh, dia mengusap lengannya yang basah. Dan dia merangkul tubuhnya sendiri, hampir menggigil. Dia mungkin tidak sadar aku sedang memperhatikannya, memerhatikan kulit wajahnya yang hitam terbakar sinar matahari—walau begitu harus aku akui bahwa dia sungguh manis, aku juga memperhatikan bagian lain polo shirtnya—sepertinya hujan telah membuatnya terlalu basah hingga aku dapat melihat lekukan dadanya.

Aku mengalihkan pandangan ke arlojiku tepat ketika dia menoleh kepadaku—mungkin akhirnya dia sadar telah di awasi. Dan aku tidak memperhatikannya kembali.
“Terlalu lebat ya?”
Aku menoleh, dia bertanya kepadaku.
“Yah,” jawabku tenang, menatap lurus ke matanya yang cokelat terang “hujan menyebalkan ya?”
Dia tersenyum—satu hal lagi baru saja aku sadari, bahwa senyumnya luar biasa manis. Tipe senyum yang akan bisa membuatku betah menatapnya berlama-lama.
“Tidak,” jawabnya pelan “aku suka hujan”.
“Mungkin kau aneh” aku menyahut.
“Mungkin” dia tersenyum lagi, kali ini sambil menatap lurus ke arah jalan di depan—tapi entah kenapa aku merasa dia tidak sedang melihat apapun, sesuatu yang dilihatnya adalah sesuatu yang lebih jauh dari apapun yang dapat kami lihat sekarang.
Itu mengingatkanku pada seseorang; seseorang yang suka sekali pada hujan.

“Hujan adalah penjaga rahasia yang sangat baik” katanya waktu itu, sambil menatap air hujan yang menghujam kaca jendela kelas kami dengan sangat keras—saat itu telah melewati tengah hari, sekolah telah sepi dan kami duduk berdua di dalam kelas kami yang sepi “hujan tidak akan memberitahu orang lain kalau aku sedang menangis, jadi aku tidak perlu malu untuk menangis. . .”
“Kau tahu” kataku dengan sangat lembut, aku ingat saat itu aku meraih tangannya pelan-pelan, dia bisa menerimanya “aku benci mengatakan ini—karena aku mencintaimu, tapi. . .semoga kau bahagia dengannya”.
Dia tersenyum, aku bisa melihat air mata mulai menggenang di ujung-ujung matanya. Entah kenapa itu sangat menggangguku.
“Kau tidak mau memelukku?”, tanyanya dengan lembut, aku yakin sekali genggaman tanganku saat itu semakin kuat, kurasakan dadaku sesak bukan main—tapi aku telah terbiasa dengan semua itu.
“Aku tidak bisa” aku sendiri tidak yakin telah mengatakannya.
Dia tersenyum sangat tulus, air matanya mulai meleleh, dan aku tahu aku tidak bisa menghentikannya. “Itu ide yang bagus”.

Aku beralih waktu kembali, memperhatikan dia yang masih menatap “sesuatu” di luar jangkauan pandangan mataku.
Dia menoleh, terlalu terlambat untuk mengalihkan pandangan lagi. Dia menatapku dan tersenyum.
“Bhumi” katanya.
“Bayu”.

“Kau belum pulang?”
Lyla menggeleng cepat, “Dalam hujan seperti ini? Aku tidak cukup gila untuk melakukannya, Bay”
“Mungkin belum”
“Ya”.
“Kau mau dengar sesuatu?” Tanya Bayu setelah mereka akhirnya memutuskan untuk duduk dalam kelas mereka yang telah sepi.
“Kau tahu aku suka sekali mendengar setiap ceritamu”.
“Aku pikir yang ini tidak akan seperti itu” kata Bayu setengah menggumam.
“Keberatan kalau aku tidak berpikir demikian?”
“Tidak juga” sahut Bayu pelan “aku hanya berharap kau akan mampu mendengarnya, maksudku adalah bahwa aku serius tentang hal ini”
“Silahkan” Lyla menggangguk dengan sangat cepat dan besemangat hingga rambutnya menyibak dengan indah dari pundaknya.
“Ini,” kata Bayu, setengah ragu, “tentang kita. . .”
“Hm?”
Bayu diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku sudah menunggu lebih dari lima tahun ini hanya untuk mengatakan bahwa aku akan selalu jatuh cinta padamu”.
Lyla diam.
Bayu diam.
“Maaf” hanya itulah yang dikatakan Bayu pada akhirnya.
Lyla menatap mata Bayu dalam-dalam.
“Ini lebih besar dari kita”.
“Aku tahu,” Bayu menyahut dengan begitu cepat hingga Lyla hampir tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Bayu, “begitu juga bagi kau dan Lodi”.
Lyla diam kembali.
Hujan di luar semakin lebat.
It’s darkness . . .

Bayu kembali melirik arlojinya; 13.45. Sudah terlambat, dia pikir. Maka dia memutuskan untuk tinggal lebih lama berteduh di sana, mengobrol lebih lama dengan Bhumi. Lagipula, Bayu telah merasa nyaman dengan Bhumi. Bhumi, dia ternyata masih muda, 24 tahun, hanya saja cara dia berbicara dan bertingkah-lah yang membuatnya terkesan telah begitu dewasa. Dia melihat hidup dari banyak sudut yang Bayu yakin tidak banyak orang mampu dan mau melakukannya.
Hidup, pikir Bayu, aku sendiri masih perlu banyak belajar tentang hidup, bahkan aku masih mencari alasan untuk tetap percaya bahwa hidup ini adil. Aku tidak mengerti sebenarnya mana yang tidak adil; aku, hidup, ataukah Tuhan?.
Bolehkah aku menganggap Tuhan-lah yang tidak adil? Karena Dia telah mengambil Ayahku; padahal aku masih sangat membutuhkannya, Dia telah membuatku melalui terlalu banyak kesakitan yang sampai sekarang aku masih tidak mengerti tujuan di baliknya, Dia telah menggagalkanku dalam banyak hal—entah karena Dia tidak mengijinkan atau hanyalah karena aku terlalu naïf, Dia telah membuatku menikmati diriku sendiri berada dalam ironi yang mungkin telah aku ciptakan.
Entahlah, aku pikir aku telah tahu cukup banyak, hanya untuk menyadari bahwa aku ingin tidak tahu apa-apa.
Bayu sendiri masih berusia 21 tahun, dia hanyalah pemikir keras yang suka sekali merenungkan sesuatu begitu dalamnya hingga menguras sebagian besar tenaganya. Senyum palsunya menyimpan banyak tragedi, banyak kesakitan, dan banyak keputusasaan. Namun, sepertinya justru hal-hal itulah yang membuatnya terlihat menonjol di antara teman-temannya, membuatnya menjadi seseorang yang “melebihi kedewasaan usianya”.
“Ah ya,” kata Bhumi “tentu saja, aku pernah melihatmu di bioskop, saat itu—kalau otakku tidak salah mengingat—film yang diputar adalah Milk” Bhumi tersenyum geli.
“Sebenarnya kau tidak perlu tersenyum menyebalkan seperti itu”.
“Biarkan aku” sahut Bhumi, “aku hanya tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi, dunia kita memang sangat sempit ya?”.
“Aku punya duniaku sendiri” jawab Bayu sedikit ketus—tapi ada kesan manja.
“Ya,kita semua punya, tapi aku pikir kita punya dunia yang sama”
“Hampir sama” Bayu mengoreksi dengan sangat cepat. Bhumi melambai rendah.
Mereka diam sejenak sebelum akhirnya Bhumi bertanya lagi “Sejak kapan?”
Bayu menatap heran, “Apanya yang sejak kapan?”
“Kau tahu yang aku pikirkan, ayolah kita sama kan?”
Bayu nyengir, “Entahlah, sejak kecil aku, rasa”
“Tuhan menciptakanmu demikian—kau percaya itu?”
“Kenapa aku merasa tidak harus menjawabnya? Tapi yah, memang aku belum bisa menemukan alasan yang cukup logis kenapa aku bisa sampai pada titik yang salah ini”.
“Salah?” Bhumi menimpali dengan nada tidak setuju “mereka yang merasa normal-lah yang membuatnya terkesan salah”
“Bagaimana kalau mereka benar?”
“Mereka bukan Tuhan tentu saja” jawab Bhumi cepat.
“Jadi kau yakin Tuhan telah sengaja menciptakan orang-orang seperti kita? Kita sama-sama tahu Tuhan tidak pernah salah”.
Bhumi diam.
“Sepertinya, terlalu berlebihan jika kita melanjutkan berdebat tentang hal konyol semacam ini” Bayu akhirnya menengahi dirinya sendiri dan Bhumi.
Bhumi membalas dengan satu cengiran menyebalkan hanya untuk menunjukkan kesetujuannya.
Hujan telah reda, Bayu memutuskan untuk pergi, dia sudah terlalu lama mengobrol, dia telah lupa akan kuliah Arsitektur Hijau-nya, dia telah sementara lupa pada kesakitan yang setiap hari mengejarnya—membuatnya kadang-kadang terpaksa mengenakan topeng “normal”nya, karena dia telah menemukan seseorang yang bernasib sama dengan dirinya, seseorang yang merasa menjadi salah satu kaum minoritas dari sekian mayoritas.
“Bay,” kata Bhumi, mencegah Bayu sebelum dia pergi “senang bertemu denganmu”.
Bayu tersenyum, lalu menunjukkan ponselnya. Dengan ekspresi wajah yang sangat cerah, Bhumi segera merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik nomor ponsel Bayu.
“Kita akan bertemu lagi”.
“Tentu,” jawab Bayu “sampai nanti”.

Aku mencintainya dan aku bersyukur karena aku tahu hal itu. Bayu mengakhiri blog-nya dengan sebuah senyum simpul. Sebuah senyum sangat sederhana yang mampu menerjemahkan perasaan bahagia yang tidak bisa dibahasakan. Dia tentu saja sadar bahwa dia baru saja membuat Bhumi merasa sangat spesial, haruskah ditekankan kembali bahwa Bhumi memang spesial untuk Bayu? Biarlah hanya mereka berdua yang benar-benar tahu.
Telah dua tahun sejak mereka bertemu, dan telah mencapai hampir satu setengah tahun sejak mereka memutuskan untuk bersama. Kebersamaan bagi mereka hanyalah kata, kebersamaan yang mereka definisikan adalah apa yang telah membuat mereka melalui hari-hari mereka; adalah bagaimana mereka mengartikan setiap senyuman kecil dari masing-masing; adalah perasaan yang kadang terlalu membabi-buta; adalah mereka.
Mereka menjalaninya dengan sangat normal. Bahkan mereka telah menganggap minoritas seperti mereka tidak memiliki perbedaan yang pantas untuk diperdebatkan, mereka telah sepakat bahwa mereka normal. Mungkin orang akan berpikir bahwa dunia sudah mulai kacau—tapi Bayu dan Bhumi berpikir, bukankah dunia sudah sedemikian kacau, bahkan sebelum Bayu dan Bhumi terwakilkan oleh kata ”mereka”?
Sehingga tidak ada cukup alasan bagi mereka untuk tidak merasa bahagia. Namun, mereka juga telah cukup dewasa untuk mengerti bahwa ada batas untuk segala sesuatunya, bahkan untuk mereka. Bhumi dan Bayu menghormati batas-batas tersebut karena mereka menghargai orang lain; karena mereka ingin pula dihormati. Seperti itulah seharusnya hukum alam. Seperti hukum karma, maka seharusnya berlaku pula untuk setiap kebaikan kecil yang berusaha mereka lakukan.
Tapi minoritas tetaplah minoritas, butuh waktu dan usaha yang melelahkan untuk mengubahnya menjadi mayoritas—bahkan mungkin akan ada yang mengatakan itu tidak mungkin. Pada titik ini Bhumi dan Bayu tahu, antara minoritas dan mayoritas telah sekian lama terjadi tabrakan dalam banyak hal. Semua ingin dihormati, semua ingin dihargai, semua ingin dicintai, semua ingin benar-benar berhak untuk memutuskan. Tapi tak semua menghormati, tak semua menghargai, tak banyak mayoritas yang peduli pada minoritas. Tabrakan-tabrakan itu seperti aliran air yang sangat deras, terlampau cepat berlalu, terlalu dalam meninggalkan bekas dan menghancurkan.
Namun, Bhumi dan Bayu telah mengerti bahwa tidak perlu ada minoritas dan mayoritas, karena perbedaan itu selalu menyertai persamaan, keduanya berjalan, keduanya melangkah maju, keduanya berada pada sebuah pijakan tanah yang sama.
Bayu dan Bhumi tidak pernah keberatan jika ada orang lain yang mengganggap mereka sebagai minoritas yang tak normal, karena Bayu dan Bhumi merasa masih berada dalam lingkup batas yang tidak akan merendahkan batas-batas itu sendiri. Mereka hanya melakukan apa yang kebanyakan orang lain lakukan. Mereka menikmati sore dengan menonton komedi di televisi atau jalan-jalan di alun-alun kota. Mereka mengawali pagi mereka dengan saling mengucapkan selamat pagi dan saling mengecup kening. Mereka mengisi siang mereka dengan kegiatan normal masing-masing. Mereka menghargai malam mereka dengan saling berbagi cerita; mengeluhkan siang yang panas, pagi yang terlampau dingin, atau orang-orang yang terlalu menyebalkan.
Dua orang itu berbagi satu kamar kos. Sehingga kadang pada malam hari, apabila mereka telah mencapai romantika ironis, mereka akan mulai mencumbu satu sama lain, tidak perlu suara dalam romatika mereka, setiap sentuhan, setiap belaian, dan setiap kecupan akan jauh lebih berharga tanpa adanya kata-kata. Mereka memang perlu diam—tapi mereka juga berpikir mereka tidak perlu bersuara.
Biarkanlah kami menikmati malam yang sama.
Sore itu merupakan sore yang cukup nyaman. Udara pergantian musim membawa angin hangat yang menyenangkan. Bhumi dan Bayu berpikir sore itu akan lebih baik jika mereka pergi mencari beberapa buku atau DVD movie atau bahkan CD terbaru dari Three Days Grace, band favorit mereka. Setelah memarkir motor, keduanya langsung melangkah santai ke dalam toko buku yang berada dekat dengan alun-alun.
”Kau yakin album barunya telah rilis?” tanya Bhumi sambil menelusuri rak CD musik.
”Sangat yakin,” jawab Bayu dengan pasti ”seharusnya kau telah tahu itu”.
Mereka tetap mencari, dan tanpa sadar keduanya telah berada pada sisi rak yang berjauhan. Bayu telah menemukan album Three Days Grace yang dicarinya, sementara Bhumi masih ingin mencari album Disturbed.
”Bhumi?”
Bhumi seketika menoleh dan terheran.
Bhumi menatap orang di sebelahnya. Penampilannya biasa, dengan kemeja lengan panjang warna putih dan celana jins biru gelap, serta model rambut emo yang tampak sangat ringan,namun dia sungguh menarik perhatian.
”Bhumi kan?”
”Kau?”
”Yeah, aku, Gusta”.
Sejenak Bhumi terlihat begitu salah tingkah, ”Bukankah kau seharusnya telah berada di Bogor?”, akhirnya hanya itulah yang meluncur di lidahnya, itupun dengan sedikit terbata.
”Jangan berekspresi seakan aku tidak boleh ke sini” Gusta menggoda dan segera memeluk Bhumi. Awalnya Bhumi sedikit mengelak tapi akhirnya dia membiarkan Gusta memeluknya dengan hangat. ”Sudah berapa lama? Aku sedikit lupa”.
”Uhmm,” Bhumi tak berani menatap mata Gusta ”tiga tahun kalau aku tidak salah”.
”Selama itu kah?”
”Kau pikir?”
”Tidak, hanya saja. . .” Gusta menelusuri Bhumi dari atas ke bawah ”kau tidak banyak berubah”.
”Aku berubah”.
”Ayolah, I know u. . .”.
”You knew me. . .you don’t”.
”Lihat kan? ” sanggah Gusta ”kau masih tetap tak mau kalah”.
”Kau pernah mengalahkanku, kalau itu yang kau maksud”
Gusta tertawa pelan, terlihat susunan giginya yang nyaris sempurna ”Aku mengerti apa yang berubah, kau jadi lebih sensitif, ayolah, it’s over. . .omong-omong, sedang apa?”.
Bhumi menoleh pada Bayu yang sekarang telah beralih ke rak buku-buku Arsitektur. Gusta ikut menoleh dan tersenyum geli.
”Dia?”
”Yeah”.
”Uhmmm, aneh” kata Gusta.
”Uh?”
”Bukan tipemu aku rasa”.
”Memang,” jawab Bhumi tegas ”aku bosan dengan tipe, aku bersamanya karena aku telah belajar bahwa mencintai berdasar tipe hanya akan membuatku terbuang, kau masih ingat kan bagaimana kau membuangku hanya karena kau akan pergi jauh untuk waktu yang kau sendiri tidak tahu”.
”Relax” sahut Gusta ”kau telah dewasa”.
”Syukurlah kau tahu”.
Bhumi beralih kembali pada CD yang dicarinya.
”Gusta!”
Suara melengking itu segera membuat Gusta dan Bhumi menoleh. Dia sedang berlari menghampiri Bhumi dan Gusta. Rambutnya yang pendek sebahu tampak tergoncang ke kanan dan ke kiri dengan indah.
”Sudah?” tanyanya pada Gusta, lalu perhatiannya beralih pada Bhumi yang lagi-lagi sedikit terperangah ”Bhumi?”.
”Kau ingat kan?” tanya Gusta pada Bhumi ”pada adik kembarku Ghita?”.
Bhumi tersenyum senang, sepertinya dia lebih rela bertemu dengan Ghita daripada dengan Gusta.
“Ah ya, tentu saja” kata Bhumi, kali ini Bhumi-lah yang memilih untuk memeluk Ghita. Ghita pun sepertinya senang sekali bertemu dengan Bhumi.
“Apa kabar?” tanya Ghita setelah Bhumi melepaskannya.
“Seperti yang terlihat”.
“Salahkah kalau aku mengira kau sedang sangat bahagia?”
“Uhmmm,” Bhumi sedikit tersipu saat menjawabnya “bolehlah, semacam itu”.
Dengan raut wajah agak sedikit kecewa, Ghita bertanya kembali “Telah ada seseorang lagi? Setelah abangku?”.
Bhumi hanya menunjuk Bayu dengan jempolnya.
“Ah ya” kata Ghita dengan nada yang sedikit lebih pelan.
Bhumi mengernyit “adakah yang salah?”.
Ghita menggeleng pelan, “kau tahu aku tidak pernah berpikir kalian salah”.
Bhumi tersenyum.
“Okelah,” kata Gusta akhirnya “aku pikir, aku dan Ghita tidak mau membuat mama kami menunggu terlalu lama di luar, sampai jumpa Bhumi”.
“Dah” entah memang Bhumi ingin membuat Gusta jengkel atau bagaimana, tapi yang jelas Bhumi lebih memilih mengucapkan itu pada Ghita.
Ghita tersenyum manis, lalu kakak beradik itu berjalan keluar berdampingan.
“Itukah Gusta?”
Bhumi menoleh, Bayu memandangnya sambil tersenyum.
“Huh?”.
“Aku melihatnya memelukmu tadi” sahut Bayu cepat “percaya atau tidak, I saw the connection”.
“Oh Bay. . .aku tidak bermaksud untuk. . ..”
Bayu nyengir, “Tapi tentu saja aku percaya hubungan seperti itu telah usang, yang ada sekarang hanyalah aku dan kau. . . ya kan?”.
Keduanya saling tersenyum, tanpa mereka sadari telah ada sesuatu yang mulai berubah.
Hari-hari berikutnya terasa sedikit berbeda, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Bayu. Bhumi jadi lebih jarang memeluknya, dia juga jadi lebih sering terlihat melamun. Ketika Bayu menanyakan sebabnya, Bhumi lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
Bayu percaya pada Bhumi tentu saja, tapi semua itu membuat Bayu berpikir lebih dari biasanya tentang hubungan mereka. Tentang bagaimana hubungan mereka pasti akan berakhir, tentang apa yang akan Bayu lakukan tanpa adanya Bhumi. Saat itulah Bayu mulai memikirkan hal lain yang dulu diluar jangkauan imajinasinya. Dia merasa sudah harus belajar mencintai yang lain, dia mulai harus belajar menyerah dan mengikuti kebiasaan orang-orang di sekitarnya—mayoritas, dia mulai harus belajar memenuhi tuntutan pola hubungan “orang normal” dalam mayoritas, maka mungkin dia akan menjadi bagian dari mayoritas—sebenarnya Bayu enggan memikirkan kembali tentang hal-hal mayoritas-minoritas itu, tapi Bayu sendiri merasa semua telah mulai berada di luar kendalinya. Pun Bayu sendiri bukan tipe orang yang akan merasa terganggu saat tidak memegang kendali, baginya dapat mengendalikan diri sendiri itu pun sudah cukup.
“Bhumi,” kata Bayu saat mereka duduk berdampingan di kamar kos mereka, Bhumi tengah mengerjakan skripsinya.
“Bhumi” kata Bayu sekali lagi. Namun Bhumi hanya menanggapinya dengan “hah?” sekenanya.
“Listen to me” rengek Bayu.
“I'm listening to you dear” tapi Bhumi tidak menoleh, nada bicaranya seakan menunjukkan Bhumi sedang tidak ingin diganggu—bukan karena skripsinya—melainkan karena hal lain yang mungkin terlalu gamblang untuk dikatakan begitu saja.
“You're not. . .You're just hearing me”.
Akhirnya Bhumi beralih pada Bayu, dan seketika mengecup bibir Bayu dengan lembut. “Sorry dear. . .didn't mean to, sekarang, apa yang ingin kau bicarakan? Apakah ini tentang kuliahmu?”.
Bayu menggeleng pelan. “Ini tentang aku dan kau”.
Entah kenapa kalimat itu terdengar begitu aneh bahkan bagi mereka berdua. Aku dan kau. Biasanya hanya ada kita atau kami.
“Apa aku dan kau baik-baik saja?” tanya Bayu pelan tapi dengan nada yang sungguh-sungguh.
Bhumi mengernyit, “Tentu saja my dear, kita sangat baik-baik saja” Bhumi membelai tepi wajah Bayu. Tapi Bayu memalingkan wajah, berpura-pura menatap jam dinding di atas mereka.
“Kenapa?” tanya Bhumi heran.
Bayu hanya menjawabnya dengan kecupan dingin di bibir Bhumi lalu segera beranjak.
Bhumi hampir mencegahnya ketika Bayu berhenti di ambang pintu dan berkata “Sudah hampir dua tahun, Bhumi . . . ”. Saat itulah Bhumi hampir yakin ada setitik air mengambang di sudut-sudut mata Bayu.
Mereka berdua merasa telah melalui segalanya, tapi kali ini, mereka sama sekali merasa asing. Keduanya merasa gelisah. Keduanya merasa aneh, sama-sama enggan.

And the blue is getting darker.
Ironic becomes tragedy.
Tragedy is heading its end.
And the pain will soon become suffer.

Semuanya semakin terasa aneh bagi Bayu dan Bhumi, mereka telah menjadi lebih canggung untuk menatap satu sama lain, padahal sebelumnya mereka menikmatinya bahkan hingga satu jam lamanya hanya untuk menunjukkan betapa mereka saling mengagumi satu sama lain.
Petang itu, Bayu sedang duduk bersama Emill, kawannya, di sebuah food court.
“Hmmm,” gumam Emill “jadi begitu? Mungkin kau harus membicarakannya dengan Bhumi—membicarakannya, bukan mendebat-kannya — kau pasti tahu maksudku”.
Bayu menyeruput cappucino-nya sebentar lalu menanggapi “aku telah berkali-kali menanyakannya, alih-alih menjawabnya, dia mengalihkan pembicaraan, aku benci sikapnya yang satu itu”.
“Aku bilang kau harus membicarakannya—bukan mendebatkannya—bukan menanyakannya”. Emill menimpali dengan nada sangat mengejek.
“Bagaimana?”
“Kau akan belajar tentang itu, mungkin malah akan terjadi secara refleks”.
“Omong kosong”.
“Hahaha,” Emill bertingkah tertawa “kau sungguh lucu hari ini Bay. . .kau tahu kau bisa belajar . . .” Emill berhenti di tengah ejekannya, menatap ke arah lain. Pandangan matanya mengikuti dua orang yang sedang menyusuri koridor di depan deretan toko-toko mall itu.
“Tidak mungkin. . . “ katanya kemudian.
Bayu ikut menoleh ke arah yang sama. Dia mungkin sudah menduganya, tapi tetap saja dia tidak bergeming sedikitpun. Pun bahkan mengeluarkan kata-kata. Dia menahan napasnya, dadanya terasa sangat sesak. Dia pikir telah mempelajari semuanya hingga dia yakin dia akan baik-baik saja, tapi ternyata semua salah, dia harus mempelajari semuanya dari awal lagi. Dengan mempertaruhkan bahwa dia akan mengerti semuanya sekali lagi atau bahkan dia ingin tidak tahu apa-apa.
Bhumi dan Gusta tidak menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan oleh dua pasang mata dari lantai 3. Mereka tetap serius membicarakan sesuatu.
Emill beralih kepada Bayu. Dia saat itu hampir yakin dia akan melihat air mata mengalir di pipi Bayu. Dia salah. Dia tidak melihat air mata, dia melihat mata Bayu penuh dengan kekosongan. Seketika Bayu bangkit dan meninggalkan Emill begitu saja. Dan ketika Emill mengikutinya, Bayu menolak. Dengan sangat dingin, Bayu menjawab “Aku mungkin merasa buruk, tapi aku akan baik-baik saja, lebih baik kau pulang, ini sudah cukup sore”. Pun Emill merasa tidak berguna apabila dia mendebat lebih lama lagi.
Sesuai perkiraan Emill, Bayu tidak menyusul Bhumi, Bayu is in his way home, even he doesn’t really know whether he can still call it home or just a room of a friend. His home might have just broken, but he decided not to allow it happen.
Bayu tidak akan mengakhiri begitu saja, dia sangat ingin Bhumi berbicara tentang kejadian tadi. Karena itulah Bayu menunggu di kamar kos Bhumi dengan sangat gelisah.
Dan ketika jam dinding mulai menunjukkan pukul 21.30 Bayu tidak sadar bahwa dia tertidur dengan sangat pulas, di dadanya, dia memeluk erat sebuah bingkai foto. Foto itu sungguh akan membuat siapapun iri.
Dengan background dinding kamar kos Bhumi yang catnya dengan sangat sederhana baru dicat ungu muda, Bayu dan Bhumi sedang berpelukan, tangan keduanya bersatu menjunjung sebuah cake berukuran kecil dengan satu lilin di atasnya. Emill yang mengambil foto mereka saat itu pun hampir iri melihatnya. Tidak ada satu kecacatan pun di dalam hubungan Bayu dan Bhumi yang ditunjukkan foto itu.
Foto itu sangat sederhana, tapi ekspresi wajah Bhumi dan Bayu mampu meyalakan beribu cahaya kecil yang tak terlihat. Tawa keduanya begitu hangat, begitu bahagia. Salah satu tangan Bhumi yang bebas sedang merangkul Bayu, menariknya ke dalam pelukannya, dan kebersamaan yang tak dapat dijelaskan telah tergambar dalam foto itu. Foto itu juga merupakan bukti bahwa mereka tidak mau memperdebatkan mayoritas-minoritas atau normal dan tidak normal. Bagi mereka, kebahagiaan saat itu melebihi batas yang diberikan oleh “orang-orang normal di luar sana”. Kebahagiaan yang takkan sanggup ditempuh dengan jalan pintas manapun.
Di atas foto itu, ada tulisan berbunyikan “Kami mungkin tidak akan pernah menang, tapi kami tidak akan membiarkan siapapun mengalahkan kami”.
Ketika Bayu terbangun, dia telah merasakan tangan Bhumi sedang memeluk perutnya dengan erat, hingga dada Bhumi beradu dengan punggung Bayu. Dulu, jika itu terjadi, Bayu akan merasa sangat hangat, dan dia akan membalasnya dengan sebuah kecupan hangat esok paginya. Tapi tidak kali ini, yang dirasakan Bayu hanyalah tangan dingin yang mungkin sedang mempermainkannya.
Dengan amat perlahan, Bayu melepaskan diri dari pelukan Bhumi dan dia duduk di tepi ranjang. Saat menoleh pada Bhumi yang tertidur dengan sangat nyaman, Bayu merasa miris. “Ini bukan akhir yang kita inginkan, Bhumi” gumamnya pelan.
Sebuah suara getaran pelan yang beradu dengan papan kayu membuat Bayu menoleh. Ponsel Bhumi sedang berkedip samar. Awalnya, Bayu menolak untuk mendengarkan suara hatinya yang berteriak “raihlah!!!”, tapi akhirnya Bayu melakukannya.
Sebuah pesan pendek yang dikirim oleh nomor tak dikenal membuat Bayu tertegun sejenak, kembali dia ragu untuk mencari tahu lebih jauh. Tapi ketidakinginannya untuk dipermainkan mengalahkan keraguannya. Bayu menekan sebuah tombol dan membaca isi pesan singkat tersebut.
“Have a smiling moon outside your window, sweetheart”.
Benar-benar sebuah pesan singkat yang meninggalkan luka terlalu lama.
Bayu meletakkan ponsel Bhumi ke tempat semula dan mengenakan jaketnya dan dengan sedikit berjingkit, melangkah keluar.
Tak ada tujuan pasti. Hanya ingin merasakan angin malam yang dingin. Terlampau dingin. Tapi tak cukup dingin untuk mengalahkan hati Bayu yang beku.
Sebuah mobil menepi tepat saat Bayu menyusuri trotoar di depan sebuah warung kopi yang sepi. Seseorang turun dari mobil itu dan serta merta menghampiri Bayu.
“Bagaimana kau bisa sampai di sini?” Tanya Emill mulai khawatir setelah dia melihat pandangan mata Bayu yang tidak biasanya.
“Jalan kaki”.
“Kenapa?”
“Hanya karena aku ingin”.
“Masuklah” Emill menyeret Bayu ke dalam mobilnya. Bayu hanya menurut, tidak ada tenaga untuk menolaknya.
Mobil itu pun melaju, memecah dinginnya jalanan malam. Bayu yang duduk diam dalam mobil Emill tak menjawab satupun dari pertanyaan yang diajukan Emill. Emill pun tak mau ambil pusing terus-terusan membombardir pertanyaan pada mayat hidup.
Sekarang hanya tinggal memilih, berjuang untuk bertahan ataukah merelakan untuk bertaruh atas sesuatu yang masih belum jelas.
Tapi kami telah cukup bahagia selama ini—jauh dari hanya sekedar bahagia.
Bayu memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh—walaupun saat itu dia takut mengetahui sesuatu. Tapi apa yang ditakutkannya adalah kemungkinan bahwa dia akan memiliki hidup yang lain.
Tanpa Bhumi.
And he feels like he has to be ready for the next step.

Berat untuk melakukannya memang, Bayu sendiri menyadarinya dengan sangat jelas, namun segala resiko akan sangat dengan mantap dia ambil untuk membuat semuanya menjadi jelas.
Mungkin tidak, mungkin alasanku sebenarnya bukan untuk membuat semuanya menjadi lebih jelas, mungkin aku hanya egois, aku hanya tidak ingin kehilangan Bhumi, sejak dia telah berarti banyak hal untukku. Dan tidak ada alasan untuk mengacuhkan hal seperti itu.
Bayu dengan sengaja mengikuti Gusta setelah dia melihat Gusta dan Bhumi baru saja berpisah di depan sebuah toko perhiasan.
Toko perhiasan? What the . . .
Dengan motornya, Bayu mengikuti Gusta hingga dia berhenti di depan sebuah—kali ini—toko bunga.
Toko perhiasan, toko bunga. . .lalu apalagi?
Beberapa saat kemudian, Gusta keluar dari toko bunga dengan senyum bahagia. Tak ada yang pernah benar-benar tahu arti sebuah senyuman tapi Bayu memutuskan senyuman itu adalah pertanda buruk baginya.
Bayu kembali mengikuti Gusta, beberapa kali dia harus berhenti untuk berpura-pura membeli sesuatu hanya karena dia merasa Gusta telah menyadari telah diikuti.
Dan sekarang Bayu memilih berpura-pura sedang menawar durian di tepi jalan setelah dia melihat Gusta berhenti di depan sebuah galeri lukisan.
Perhiasan, bunga, dan lukisan . . . tidakkah semua itu terlalu aneh untuk dihubung-hubungkan? Kecuali. . .
Cukup. Bayu tidak mau berpikiran yang lebih aneh lagi. Maka setelah dia melihat Gusta keluar dari galeri lukisan dengan membawa sebuah –sepertinya—lukisan yang dibungkus dengan kertas koran, Bayu memilih untuk pulang. Dia sudah pusing setengah mati memikirkan semua itu.
Pulang. . .
Entah kenapa, sekarang kata-kata itu menjadi sangat aneh. Sekarang dia tidak punya rumah. Bhumi—yang terbiasa menjadi rumahnya—kini rasanya telah hilang. Bayu seakan sudah diusir dari rumah yang biasa ditinggalinya—Bhumi.
Rumah—bagi Bayu—bukanlah ruangan berukuran 4 m x 4 m yang disewa Bhumi sebagai kamar kos. Bayu menganggap, Bhumi-lah rumahnya. Kemanapun Bayu pergi, selama ada Bhumi, dia telah merasa berada di rumah.
Home sweet home.
But now it’s full of pain.
Dengan lemas, Bayu melangkah memasuki kamar kos Bhumi—dia sekarang sudah mulai merasa sungkan, ruangan itu terasa sebagi ruangan orang asing yang dengan tanpa ijin dimasukinya.
“Dear. . .” kata Bhumi seketika melemparkan buku yang sedang dibacanya dan serta merta menarik Bayu ke dalam pelukannya—sekali lagi bayu merasa dingin—amat dingin.
“Kemana saja kau seharian? I do miss u. . .” Kata Bhumi, mengecup bibir Bayu dengan mesra. Tapi Bayu segera melepaskannya.
Bhumi mengernyit.
“Please” kata Bayu memohon “we really need to talk—not speak”.
Bhumi menghela napas panjang.
Bayu duduk di tepi tempat tidur, Bhumi mengikuti.
“Adakah yang salah?” Tanya Bhumi dengan nada pelan namun agak sedikit berpura-pura. Dan Bayu adalah tipe orang yang sensitif, dia akan merasa ada yang aneh saat seseorang berbohong. Dan Bayu tahu Bhumi sedang berpura-pura.
Bayu mengela napas panjang. Dia merasa telah benar-benar dipermainkan.
Kalau kau sudah tak mencintaiku lagi, katakanlah sekarang. Aku akan baik-baik saja nanti, pikir Bayu. Namun, bukan kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Tidakkah kau merasa semuanya telah mulai terasa salah?” Tanya Bayu pelan, dia mencoba menyembunyikan kesedihannya, kekecewaannya, dan ketidaksiapannya untuk menerima jawaban yang dipikirkannya.
“Salah?” Tanya Bhumi balik “Apa maksudmu? Oh tidak, jangan katakan kau kembali berpikir bahwa hubungan kita ini salah”.
“Mungkin iya” sahut Bayu “atau mungkin tidak—aku sekarang sangat bingung. Aku merasa hubungan kita ini tidak akan pernah salah, tapi aku merasa kita-lah yang sedang salah”.
“Ok dear,” kata Bhumi memelas “sekarang aku benar-benar tidak mengerti”.
“Tidakkah kau merasa ini semua aneh?” sahut Bayu mulai terdengar jengkel “aku tidak bisa merasakan saat kau memelukku, aku hanya merasa dingin saat kau menciumku—aku tahu aku terdengar konyol, tapi pikirkanlah”.
Bhumi tak menanggapi, dia tertunduk lesu. Bayu tahu ada sesuatu yang ingin dikatakannya—atau ada sesuatu yang harus dikatakannya, sekarang atau semua akan terlalu terlambat untuk diperbaiki.
Bhumi mendongak kembali, menatap mata Bayu sedalam mungkin.
So this is it? Ok, I will be just fine.
“ Dear,” kata Bhumi “ I love you. . . you know that, and I have to prove nothing to show u I do”
You’re lying, Bhumi. . .
Bayu menghela napas lagi. Dan memutuskan bangkit. Bhumi juga berdiri.
“Tahukah kau Bhumi? Aku benar-benar menyayangimu, dan aku akan sangat bahagia bila aku bisa menjadi seseorang yang bisa membuatmu bahagia, kalau aku mulai meracau, maka benarkanlah aku, dan aku akan melakukan apapun—apapun Bhumi—untuk melihatmu bahagia, jadi saat kau siap, katakanlah yang ingin aku dengar”. Bayu dengan segera meraih tasnya kembali dan beranjak keluar.
Meninggalkan Bhumi yang masih terpaku tak percaya. Seketika Bhumi menghempaskan diri ke atas tempat tidur.
Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya. Beberapa kali menekan tombol lalu mendekatkannya ke telinganya.
“Aku pikir Bayu telah mulai curiga, atau bahkan dia sudah mengetahuinya. Aku sudah hampir mengatakannya tadi, tapi entah kenapa aku tidak bisa, aku belum bisa, dia terlalu tidak berdosa untuk menerima apa yang akan aku katakan . . . mungkin aku akan butuh waktu sebentar lagi“ katanya pada ponselnya.
Dan seseorang dari seberang jaringan berkata dengan sangat lembut “Aku mencintaimu, dan akan menunggu hingga semua bisa teratasi, aku akan mengikutimu, tapi sekarang aku hanya bisa berpura-pura—itulah yang kau minta”.

Gusta menyerahkan beberapa lembar uang ribuan kepada kasir, dan menerima selembar tanda terima.
Ponselnya bergetar dalam sakunya, dengan sangat cekatan dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Segera dia mendengarkan suara dari dalam ponsel.
“Beres?” kata Bhumi.
“Seperti yang kau minta, Hun” jawab Gusta.
“Berhentilah memanggilku begitu” kata Bhumi bermaksud terdengar menjengkelkan, tapi justru terdengar manja di telinga Gusta.
“Aku akan terbiasa memanggilmu seperti itu lagi” sahut Gusta terlampau cepat hingga Bhumi tak mendengarnya dengan jelas.
“Huh?”
“Tidak,” jawab Gusta cepat-cepat “Emmm, Bhumi, apakah kau sedang bersama Bayu saat ini?”
“Hah?” kata Bhumi “tidak, aku sedang tidak bersamanya, dia keluar dan tidak mengatakan akan pergi kemana, memangnya kenapa?”
“Tidak,” jawab Gusta balik “sepertinya, dia sudah tahu”.
“Hah? Tahu apa?”
“Semuanya, oke mungkin dia mungkin belum tahu, tapi aku yakin dia telah curiga”.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”
“Selamat malam”.
Gusta tidak mau berlama-lama mencampuri urusan Bhumi dan Bayu. Dia lebih memilih membiarkan Bhumi menyelesaikan masalahnya dengan Bayu terlebih dahulu sebelum Bhumi melangkah untuk yang lainnya.
“Bebanmu akan lebih berat, Bhumi. Jadi aku harap kau bisa lebih bijak”.

“Ada apa lagi?” tanya Emill, lalu duduk di depan Bayu. Bayu menelepon Emill untuk meminta nasihatnya—atau hanya untuk sekedar teman berbincang.
“Permisi mas,” kata seorang waitress yang dengan sigap menghampiri meja Bayu setelah melihat Emill datang “mau tambah pesanannya?”
“Cappucino dengan granuld yang banyak, mungkin?” jawab Emill.
“Baiklah”
“Terima kasih” kata Bayu dan Emill bersamaan.
“Maaf harus membuatmu datang hujan-hujan seperti” kata Bayu memulai “aku benar-benar tidak tahu harus bicara pada siapa, Emill”.
“Katakanlah”.
“Harus darimana?”.
“Putuskanlah”.
“Aku baru saja mengikuti Gusta” kata Bayu.
“Huh?” Emill membenarkan kursinya “untuk apa?”
“Kebenaran,” sahut Bayu “aku tidak mau berakhir tanpa alasan yang jelas, dan aku tidak mau mendengar alasan apapun dari orang lain—bahkan dari Bhumi—aku harus mendengarnya sendiri, melihatnya dengan mata kepalaku sendiri”.
“Kau berhak tentu saja” kata Emill “tapi tidakkah kau . . .”
Emill berhenti karena cappuccino-nya datang.
“Terima kasih Mbak”.
“Tapi tidakkah kau merasa bahwa dengan melakukan ini semua kau justru akan merasa lebih sakit—kau menyakiti dirimu sendiri, Bayu, dan aku benci kalau kau mulai seperti itu”.
“Karena aku tidak tahu harus bagaimana”.
“Kau tahu kau harus bagaimana, hanya saja, kadang kau terlalu mengintimidasi dirimu hingga kau berlaku berlebihan”.
“Ini tidak berlebihan”.
“Itu berlebihan”.
Mereka diam.
“Bayu,” kata Emill “aku yakin dari awal sebelum kau memutuskan untuk menjalani ini, kau telah memutuskan untuk mampu menerima apapun resikonya, termasuk resiko bahwa kalian tidak bisa bertahan lebih lama lagi”.
Bayu diam. Dia memutar-mutar cangkirnya yang berisi coffee latte.
“Ya,” katanya akhirnya “aku memang sudah seharusnya siap dengan resiko-resikonya, tapi . . . akhir seperti ini datang terlalu cepat”.
“Memangnya kau mengharapkan bisa bertahan berapa lama lagi?”
“Entahlah,” tukas Bayu, menghempaskan punggungnya hingga beradu dengan sandaran kursi yang didudukinya “selama mungkin”.
Emill menggeser maju kursinya, sedikit membungkuk, mendekat pada Bayu.
“Kau masih benar-benar mencintainya, ya?” tanya Emill pelan.
“Masih sama seperti saat aku pertama jatuh cinta padanya”.
“Oke” kata Emill menyerah “that’s fine”.
Mereka kembali diam. Emill menatap Bayu dengan pandangan kasihan, sebenarnya, dalam keadaan normal, Bayu akan menolak menerima pandangan seperti itu, tapi sekarang Bayu hanya bisa berpikir tentang dirinya sendiri dan Bhumi.
“Kalau dia pergi, dia akan meninggalkan banyak sekali bekas” kata Bayu akhirnya, Emill hanya mendengarkan, “kau tahu, yah kau pasti tahu, bahwa sebelum bertemu dengannya saat hujan itu, aku adalah orang yang terbiasa ketakutan dekat dengan seseorang, karena aku takut jatuh cinta”.
“Bekas-bekas itu muncul bukan karena dia pergi, hanya masalah waktu Bayu, maka sebelum itu,” Emill menyesal telah mengatakan hal seperti itu, tapi dia telah berada di tengah jalan, jadi dia terus melanjutkan kata-katanya “maka sebelum itu, aku pikir kau akan belajar untuk melepaskannya”.
Bayu memainkan tepi cangkirnya yang berisi cokelat panas.
Kalau saja saat itu mereka tidak berada di tempat umum, mungkin Emill akan memeluk Bayu. Karena Emill tahu, cinta masa lalu Bayu telah melukainya cukup dalam, sehingga saat mendengar Bayu telah menemukan Bhumi, Emill lega sekali. Dan sekarang Emill sedikit bingung harus mengatakan apa lagi.
“Where did I go wrong, Emill? I really hope you can answer it” sambung Bayu.
“Sorry, but I can’t” sahut Emill segera “dan aku akan mengatakan bahwa tidak ada yang salah, seperti yang sering kau katakan ‘mari kita anggap ini sebagai rencana-Nya’ “.
“Aku,” Bayu terhenti, sesaat Emill hampir yakin bahwa Bayu akan menangis, kentara sekali saat Bayu menahan sesak di dadanya, terlebih lagi Bayu menghela napas dan tidak meneruskan kata-katanya.
Emill mendorong cangkir Bayu lebih dekat pada Bayu, seakan memberi isyarat “sebaiknya kau minum”.
Bayu mengangkat cangkirnya dengan lemas. Dan memaksa dirinya sendiri untuk meneguk cokelatnya yang saat itu sebenarnya mulai dingin.
Beberapa saat kemudian, Bayu kembali bicara.
“Aku benci kalau harus sendirian lagi”.

Ada kalanya saat semua tidak bisa diperkirakan, maka yang bisa dilakukan hanyalah menebak—bagi Bayu, menebak dan memberikan perkiraan itu tidak sama, perkiraan telah mempunyai petunjuk walaupun samar, sedangkan menebak hanyalah memberikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti. Bayu benci sekali harus menebak-nebak, itu menyakitinya.
Memikirkan segala kemungkinan buruk yang barangkali akan segera terjadi membuat Bayu tidak bisa berpikir positif, hingga segala sesuatu yang dilakukannya terasa salah. “Seharusnya aku . . .” dan “Bagaimana jika . . .”. Kata-kata seperti itu sekarang lebih sering muncul dalam pikiran Bayu.
Bayu terus-terusan meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak memikirkan segaa hal secara berlebihan, namun pikiran negatifnya terus berkembang dan kin telah memasuki tahap “terlalu berlebihan”. Beberapa kali Bayu mengira jika memang akhir dari hubungannya akan seperti apa yang dia takutkan, mungkin Bayu akan memutuskan untuk bunuh diri.
Dalam pertarungannya dengan dirinya sendiri, Bayu merasa sangat lemah. Pikirannya terganggu, kacau sekali. Merasa terlalu banyak yang harus dipikirkan, Bayu mengambil sebuah langkah nekat.
Bayu melihat Gusta baru saja keluar dari sebuah stasiun radio tempat Gusta bekerja. Saat Gusta hendak masuk ke mobilnya, Bayu berlari menghampirinya.
Gusta menatapnya dalam-dalam. Sebenarnya Gusta telah menebak apa yang akan terjadi, maka dia hanya berkata “masuklah”.
Dan di sanalah keduanya, duduk di jok depan mobil Gusta.
Bayu bingung harus memulai darimana, dan Gusta telah dapat membacanya dari raut wajah Bayu. Sehingga Gusta memutuskan untuk memulainya dulu.
“Kau kacau sekali” ujar Gusta mengawali “kau berpikir terlalu banyak sepertinya—well, aku memang tidak kenal kau, tapi aku tahu Bhumi”.
“Aku ingin sekali mendengarnya langsung dari Bhumi, tapi dia selalu menolak” tukas Bayu.
“Aku tidak mau berpura-pura aku tidak tahu apa yang terjadi. Oke, aku memang tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua, tapi aku tahu bahwa . . .”
“Bahwa kami akan berakhir sebentar lagi . . .” sahut Bayu melanjutkan.
Tepat seperti itulah yang akan dikatakan Gusta. Dan dia memutuskan untuk diam sebentar.
“Kau mencintainya?” tanya Gusta kemudian.
“Aku tidak mengerti kenapa selalu diberi pertanyaan semacam itu. Pertanyaan seperti itu, untukku, tidak membutuhkan jawaban”.
“Aku yakin, kau tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi, bahwa hubungan kalian harus berakhir—karena memang sudah seharusnya seperti itu . . .”
“Aku benci kalau harus menghadapi kenyataan seperti ini”.
“Seperti apa?”
“Bahwa aku harus merelakan orang yang aku sayangi agar dia bahagia bersama orang lain”.
“Sayangnya, kadang kita memang harus seperti itu”.
Bayu menatap Gusta dengan tajam, seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Mudah mengatakannya, apalagi bagimu” tukas Bayu dengan nada jengkel, tiba-tiba saja dia ingin sekali melukai Gusta “Sekarang katakan semua padaku, karena aku tidak peduli aku mendengar kenyataannya dari siapa!”
“Tenanglah Bayu,” kata Gusta pelan, gemetar “aku ingin sekali menjelaskan semua padamu, tapi aku tidak mau, hanya karena aku tidak mau terlalu jauh mencampuri hubungan kalian . . .”
“Screw you, bastard!!!” sengal Bayu “dengan menjadi orang ketiga dalam hubungan kami, kau pikir itu tidak termasuk mencampuri hubungan kami ?! Kau sudah terlalu jauh !!!”
“Apa maksudmu dengan aku sebagai orang ketiga?!” sahut Gusta, setengah mati dia kebingungan.
Bayu seketika terlonjak, kebingungan menyelimuti keduanya.
Bayu menggeleng, “Kau sama saja dengan Bhumi . . .” lalu Bayu keluar dari mobil Gusta dengan wajah merah padam. Gusta mengikuti Bayu keluar mobil.
“It’s not me . . .” kata Gusta ketika Bayu hendak meninggalkan Gusta dengan hati panas.
Bayu berbalik “Apa?”.
“It’s really not me . . . “ ulang Gusta, membuat Bayu menghampirinya kembali.
“Maksudmu,“ tanya Bayu “kau tidak berusaha mendapatkan Bhumi kembali?”
Gusta menggeleng pelan “Aku tidak pernah berusaha membuatnya kembali padaku, bahkan saat ini”.
Tiba-tiba Bayu mencengkeram kerah kemeja Gusta “Tell me . . .”.
“I can’t, aku akan membiarkan Bhumi sendiri yang mengatakannya” jawab Gusta.
Bayu mencengkeram lebih keras “Just tell me!!!”.
Gusta diam.
Dan Bayu mendorongnya sekeras mungkin hingga tubuh Gusta membentur sisi mobilnya.
“Kau tidak bisa memahamiku, bukan?” kata Bayu pasrah lalu berjalan kembali ke motornya.
Gusta masih terdiam tak percaya, kaget dengan apa yang baru saja dialaminya, bukan soal Bayu yang membentaknya dan mencengkeram kerah kemejanya, tapi bahwa ternyata Bayu beranggapan bahwa Gusta-lah orang ketiga.
Gusta mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, menekan beberapa nomor dan menelepon.
“Bhumi, kau harus cepat menyelesaikannya, bukan demi dia—kali ini aku memintamu demi Bayu . . . aku tidak tega melihatnya seperti itu . . .”
“Seperti apa?” dari seberang, Bhumi bertanya balik dengan nada luar biasa cemas.
Gusta menutup telepon.
Bhumi memandangi layar ponselnya dengan agak kesal. Dia benci sekali dengan sifat Gusta yang selalu menutup telepon sebelum pembicaraan mereka selesai. Namun, bukan itu yang saat ini dipermasalahkan oleh Bhumi. Apa yang baru saja dikatakan oleh Gusta membuat Bhumi harus berpikir dua kali lebih keras dari biasanya. Berpikir secara rasional untuk mengambil keputusan yang benar.
Bhumi sebenarnya telah memutuskan, hanya saja dia masih sangat bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Bayu. Bayu berhak tahu apapun itu, tapi Bayu juga berhak merasa aman. Selama ini, Bayu telah menjadi seseorang yang mampu memberikan apa yang sangat dibutuhkan Bhumi : perhatian yang ikhlas. Dan sekarang, saat Bhumi telah menemukannya dari orang lain, jahat sekali kalau Bhumi harus meninggalkan Bayu hanya karena itu.
Tapi, bagaimanapun, semuanya telah berubah, benar-benar semuanya telah berubah. Bukan karena Bhumi tidak butuh perhatian dari Bayu, namun karena Bhumi telah jatuh cinta kepada orang lain. Seseorang dari masa lalunya. Cintanya yang dulu sempat terhalang. Dan sekarang, setelah rasa itu datang lagi, Bhumi ingin sekali untuk tidak menyia-nyiakannya.
Bayu . . . maafkan aku . . .
Bahkan sekarang, tidak ada lagi foto Bayu di dalam dompet Bhumi. Konyol memang mengetahui mereka melakukannya—memasang foto pacar mereka di dalam dompet mereka, tapi mereka dulu sangat tidak peduli. Mereka hanya ingin menyayangi dan mengagumi satu sama lain.
Namun itu dulu . . .
Sekarang, Bhumi telah menggeser foto Bayu, memindahkannya entah kemana dalam bagian lain dompetnya. Bhumi tahu itu berat, seberat saat dia memutuskan untuk menggeser Bayu dan meletakkannya di bagian lain hatinya. Rasa berat itu, lebih seperti menyesal. Kebanyakan sekarang yang terpikir adalah karena Bhumi merasa belum dapat membalas apa yang diberikan Bayu.
Dalam kebingungannya, Bhumi akhirnya memutuskan untuk menelepon seseorang.

“Ada apa?”
“Aku bingung . . . baru saja Gusta meneleponku, sepertinya dia baru saja bertemu Bayu dan entah apa yang terjadi . . .”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu, aku mencintaimu, kau tahu itu, tapi aku tidak mau menjadi orang brengsek, aku tidak mau melukai kalian berdua, aku tidak punya pilihan lain selain memutuskan”.
Tidak ada suara dari seberang.
“Aku mencintaimu”.
Masih tidak ada suara dari seberang.
“Aku mohon, katakanlah sesuatu”.
“Maafkan aku,” akhirnya suara dari seberang berbicara “aku hanya merasa bersalah, seandainya kita tidak bertemu . . .”
“Seandainya kita tidak bertemu . . .tidak, kau tidak boleh berkata seperti itu, kita memang sudah seharusnya bertemu”
Terdengar helaan hapas yang panjang dari seberang.
“Aku hanya bisa menunggumu, Bhumi. Tapi aku harap keputusanmu ini telah kau pikirkan matang-matang. Karena, aku tahu Bayu tidak seharusnya mengalami hal seperti ini, dia pantas bahagia”.
“Ya aku tahu,” jawab Bhumi “terima kasih”.
Dan setelah Bhumi menutup teleponnya, dia kembali menekan beberapa digit nomor, dan dengan ragu dia mendekatkan ponselnya ke telinganya.
Nada sambung.
Kembali nada sambung.
Bhumi menunggu dengan cemas.
Nada sambung lagi.
Dan akhirnya suara Bayu terdengar “Sibuk, tinggalkan pesan jika cukup penting”.
“Bay, ada yang harus kita bicarakan, kau benar, kita memang tidak baik-baik saja. Aku tunggu di café biasanya sore ini—seperti yang biasa kita lakukan . . .”.
Bhumi menghela napas. Beban berat yang dulu di pundaknya, kini telah merosot tepat di atas dadanya.

Menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Dan kesabaran yang dipaksakan telah membuat Bayu jengkel sekali. Dia telah duduk sendirian di sebuah café selama hampir tiga jam lamanya, café yang biasanya dia jadikan tempat menghabiskan sore hari bersama Bhumi.
Sementara, di sisi lain kota, Bhumi juga merasa sangat kesal, tiba-tiba saja motornya mogok. Dia ingin berjalan, tetapi dia pikir itu akan terlalu jauh. Percuma juga dia naik taksi, karena jalanan sedang macet. Beberapa pengemudi yang melewati Bhumi sempat membicarakan kecelakaan di jalan tersebut.
“Oh, oke” Bhumi berkata sendiri lalu menelepon Bayu, hendak meminta maaf karena mungkin dia akan telat.
Nada sambung.
Suara telepon diangkat.
“Bayu, maafkan aku, mungkin aku agak . . .” sebelum Bhumi menyelesaikan kata-katanya, telepon terputus, dan hal yang kemudian disadarinya adalah bahwa batere ponselnya habis.
“Fuck!” umpatnya pelan.
Dia kebingungan, namun akhirnya dia memutuskan untuk menitipkan motornya yang mogok di sebuah toko di tepi jalan. Dirinya sendiri menyeberang dan memanggil taksi yang sedang melaju berlawanan dengan arah tujuan Bhumi semula.
Sekarang Bhumi hendak menuju rumah Gusta. Dia pikir Gusta dapat mengantarkannya ke café tempat Bayu menunggu.

“What the f. . .” sengal Bayu pelan. Dia merasa heran sendiri kenapa Bhumi menelepon hanya untuk mengatakan maaf dan hal yang tidak jelas. Biasanya, Bayu akan khawatir saat terjadi hal yang seperti itu, dan biasanya pula, Bayu hanya akan berusaha sebisa mungkin untuk berpikir positif. Namun, kali ini, yang dirasakannya Bayu bukan lagi khawatir, melainkan jengkel luar biasa. Dia pikir, Bhumi seharusnya tahu bahwa Bayu benci sekali menunggu—apalagi ini telah melebihi tiga jam. Apalagi di luar sana, mendung tebal tampak menggelayuti sore itu.
Ketika hampir terlalu sore, Bayu akhirnya menelepon Emill dan mengajaknya ke suatu tempat. Emill sepertinya menurut saja.

“Dia sudah sangat sinting membiarkanmu menunggu selama itu” kata Emill sementara tangannya dengan sigap mengendalikan setir mobilnya.
Bayu diam saja.
“Jadi,” tanya Emill ragu “kita mau kemana?”
“Rumah Gusta”.
Emill menurut.
Emill berhenti tepat di depan pagar rumah Gusta. Tapi akhirnya dia memundurkannya sedikit karena mobil Gusta ada di depannya, dan Emill tidak mau Gusta langsung tahu begitu saja bahwa Emill dan Bayu ada di situ.
Emill dan Bayu kembali menunggu. Kali ini, Bayu benar-benar memaksakan batas kesabarannya untuk meluas sedikit. Dia terus-terusan mencoba menghubungi ponsel Bhumi, namun selalu tidak aktif.
Dan ketika Bayu mencoba untuk yang kelima belas kalinya, Emill berbisik seru “Itu Bhumi”.
Bayu dan Emill mengintip dari balik pagar. Bhumi, Gusta dan Ghita sedang berjalan mendekati pagar, sepertinya mereka hendak keluar.
Emill beralih pada Bayu. Dia tampak lebih diam dari biasanya. Luar biasa diam. Samar-samar, Emill mengira mata Bayu mulai berair.
Dan memang begitulah adanya, mata Bayu panas, entah karena dia ingin menangis atau karena rasa kesal yang begitu besar dan melandanya terus-terusan.
“Bayu benci sekali harus menunggu, dan sebenarnya dia tidak perlu menunggu selama itu kalau saja motorku tidak mogok dan tidak ada kecelakaan sialan itu” Kata Bhumi.
“Bhumi,” kata Ghita pelan “sepertinya kau masih belum bisa melepaskannya, sepertinya kau masih mencintainya, aku rela kalau harus mundur, dari awal aku tidak pernah bermaksud untuk . . .”
Emill dan Bayu terperanjak.
“Tidak,” sahut Bhumi “bukan salahmu Ghita, dan aku juga menolak mengakui ini salahku, karena perasaan ini tiba-tiba muncul kembali dan aku tidak bisa menolaknya”
“Kita hampir saja berhasil dulu, kalau saja waktu itu aku tidak sekolah di luar Jawa, kita akan berhasil” kata Ghita.
“Tidak masalah,” kata Bhumi “yang paling penting sekarang adalah kita sudah disini, dan aku akan menjelaskan semuanya pada Bayu”
“Tidak perlu,“ kata Bayu tiba-tiba muncul menghadang jalan Bhumi “karena aku sudah mendengarnya”.
Gusta, Ghita dan Bayu seketika mundur saking kagetnya.
“Aku telah menunggumu selama tiga jam lebih, aku maafkan untuk yang itu” ujar Bayu, suaranya bergetar hebat, siapapun yang mendengarnya akan yakin bahwa Bayu berusaha menahan tangis yang bercampur dengan marah “Tapi aku tidak bisa berpikir logis kenapa kau tidak mengatakan ini sejak awal?”
Bhumi mendekat, hendak menjawab ketika Bayu langsung menimpali “Aku pernah bilang bahwa aku akan melakukan banyak hal untuk membuatmu bahagia, termasuk merelakanmu . . .” Bayu merasa darah di dadanya di sedot keluar dengan sangat kejam “hanya karena aku menyayangimu, Bhumi”.
“Maafkan aku . . .” kata Bhumi. Ghita tampak sangat khawatir, wajahnya seperti menunjukkan isyarat yang bisa saja diterjemahkan sebagai “Aku melukai orang yang tidak melakukan salah padaku”.
“Aku tidak mengharapkanmu untuk melakukan hal yang sama, aku hanya ingin kau jujur . . . bahwa kau tidak mencintaiku lagi”.
“Aku mencintaimu, Bayu” sahut Bhumi,
“Ya!!!” tukas Bayu dengan keras “tapi kau tidak lagi jatuh cinta kepadaku, kenapa itu saja terasa sulit untuk kau ucapkan Bhumi?! “.
Bhumi tertunduk. Perasaannya galau, sempat terbesit dalam pikirannya untuk meninggalkan Ghita dan kembali pada Bayu, tapi pikiran seperti itu ditepisnya jauh-jauh. Karena, satu hal yang disadarinya sekarang adalah bahwa jika hubungannya dan Bayu harus berakhir, maka sekaranglah saatnya.
“Aku terbiasa takut dekat dengan orang lain, karena aku takut jatuh cinta dan tersakiti, dan” Bayu berhenti di tengah perkataannya, menghela napas cukup panjang dan meneruskan “dan kau datang, made me whole again, then why do you have to hurt me this deep? Take the biggest part of my heart and left it dying”
“Aku tidak pernah bermaksud untuk . . .”
“Kau pengecut” kata Bayu pelan, baru kali ini dia merasa benci pada dirinya sendiri karena telah mengatakan hal semacam itu kepada orang yang sangat dicintainya.
“Aku sudah meninggalkan orangtuaku, membangkang, dan mengatakan ketidaknormalanku pada mereka dan memutuskan untuk tak kembali, I did it all just to be with you . . .”
Bhumi hendak berkata tapi Bayu menimpali “Aku tidak pernah berpikir itu berlebihan, karena aku hanya menuruti apa yang menurut hatiku benar. Namun, seharusnya aku tahu, bahwa benda yang sejak dulu telah hancur seperti hatiku ini, hanya akan mengatakan sesuatu yang akan menyakitiku”.
Mereka saling diam.
“Maafkan aku Bayu”
Bayu tidak segera menjawab. Setelah menghela napas panjang, Bayu berkata “I blame you for nothing, but I forgive you for everything . . . and now, that we have met the end, it’s time to say goodbye. . .”
Bayu memaksakan diri untuk tersenyum, dan menoleh sebentar pada Gusta dan Ghita, Bayu tidak tahu harus mengatakan apa pada Gusta dan Ghita, jadi dia hanya menatap mereka dengan pandangan lesu.
Bayu berbalik dan berjalan menjauh. Emill mengikuti.
“Bayu,” panggil Bhumi pelan.
Bayu hanya berhenti namun tidak berbalik.
“Aku . . . “
“Don’t. . .” kata Bayu.
“Aku mencin. . .”
“I said don’t !!!” sengal Bayu, masih tak mau berbalik, karena air matanya mulai meleleh turun.
Mereka diam.
Tiba-tiba hujan turun.
“Aku akan masih mencintaimu” kata Bhumi.
Seketika Bayu berbalik, berlari ke arah Bhumi dan mendorongnya, sehingga mereka berdua terjerembab.
“Sudah kubilang jangan katakan itu!!!” teriak Bayu, tangannya membabi buta menghajar tubuh Bhumi, Bhumi tidak membalas—dan tidak akan membalas, dia hanya menangkisnya.
“I hate you!!!” teriak Bayu berulang-ulang, sementara tangannya masih terus melemparkan pukulan-pukulan keras, beberapa kali mengenai wajah, dada, dan lengan Bhumi.
Ghita yang sangat ketakutan hampir saja melesat untuk menghentikan Bayu, tapi Gusta menghalanginya. Dan Ghita segera mengerti.
“I really hate you!!!”
Bayu melepaskan pukulan terakhir yang paling keras, namun Bhumi menangkis dengan lengannya. Setelah itu, Bayu mundur, dan menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Dia benar-benar tidak bisa menahan tangisnya.
“I love you too much” kata Bayu terisak.
Bhumi yang masih merasa pening, memaksakan dirinya untuk mendekati Bayu dan seketika menariknya ke dalam pelukannya.
Bhumi tidak peduli akan dihajar atau bahkan dibunuh, dia benar-benar tidak peduli. Karena dia baru saja membunuh orang yang mencintai dirinya dengan sangat. Dan Bhumi membunuhnya dengan cara yang sangat tidak pantas.
Bayu tidak mau lagi melukai Bhumi, Bayu melukainya karena Bayu tidak tahu harus berbuat apa. Sekarang, saat dalam pelukan Bhumi, Bayu berusaha sekeras mungkin untuk merasakan panas orang yang sedang memeluknya, aroma orang yang sangat dikenalnya. . . yang dulu sangat dikenalnya. Dan Bayu merasa ingin merasakannya untuk terakhir kalinya, merasa ingin mengingatnya untuk seumur hidupnya . . .

This crush has been falling desperately
And the rain has become the witness of both the beginning and the ending
It’s now the tragedy remains its mark, deep inside both of the heart

I’ve been trying to live without you now
But I miss you sometimes
The more I know, the less I understand
And all the things I thought I knew
I’m learning them again
I’ve been trying to get down
To the heart of the matter
But my will gets weak
And my heart is so shattered
But I think it’s about
Forgiveness
Forgiveness
Even if, even if you don’t love me anymore . . .
(The Heart of The Matter—India.Arie)

Dengan ditemani Emill, dan sebuah kotak berbungkus kertas kado warna cokelat lembut, Bayu melangkah, melewati kerumunan orang yang sibuk membicarakan banyak hal.
Bayu memandang sekeliling, dilihatnya bunga-bunga yang ditata begitu rapi, dan dari jauh terlihat sebuah lukisan seorang gadis kecil sedang berlarian di sepanjang tepi kolam, mengejar bocah laki-laki. Mereka tertawa sangat bahagia.
“So, it was them”.
Bayu berhenti di depan seorang gadis berambut pendek yang tampak lebih cantik dari biasanya. Gadis itu menatapnya dengan heran, namun dia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang luar biasa besar saat Bayu berada di pestanya.
“Selamat ulang tahun, Ghita” kaya Bayu, menyerahkan kado yang dibawanya.
Ghita memang tidak tahu apa isi kado dari Bayu itu, bahkan sebenarnya Ghita tidak mengharapkan kado dari Bayu, Ghita hanya senang sekali mengetahui Bayu datang ke pestanya.
Dan Ghita memeluknya dengan saat erat.
“Hei”
Ghita melepaskan Bayu, dan Bayu menoleh kearah suara.
Bhumi berdiri di belakangnya, tersenyum padanya.
Bayu membalasnya dengan senyum yang sama manisnya.

“So,” tanya Bhumi setelah dirinya dan Bayu memutuskan untuk mengobrol di balik bayang-bayang sebuah pohon, jauh dari kerumunan pesta “kau akan pulang besok?”.
Bayu mengangguk pelan “Orangtuaku sudah mengurus segalanya”.
“Mereka pasti sangat menyayangimu”.
“Dan aku bodoh sekali telah menyakiti mereka”.
Bhumi tak menanggapi lagi.
Mereka diam.
“I’ll be missing you” kata Bayu tiba-tiba.
“I’ll be too” Bhumi tersenyum ramah, tapi tiba-tiba Bayu menangis.
“Kenapa?” tanya Bhumi “Does it still hurt? I am sorry”.
Bayu menggeleng.
“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis”.
“Come here” kata Bhumi, membuka lengannya dan membawa Bayu dalam pelukannya.
“Aku akan menemanimu semalaman kalau kau mau” kata Bhumi lembut.
“That’ll be great” bisik Bayu, tenggelam dalam tangisnya yang hening . . .

And the ending always
Comes at last
Endings always, come too fast
They come too fast
And they, pass to slow
I love you, and that’s all I know . . .
(All I Know—Five for Fighting)

Bayu melalui ujian akhirnya dengan sangat baik, dia telah berusaha keras. Dan saat baru saja pesawatnya mendarat, dia agak khawatir, dia takut bertemu denagn orangtuanya yang telah disakitinya. Namun, saat dia disambut wajah orangtuanya yang tersenyum padanya dengan sangat tulus—terlebih lagi, ibunya menangis haru, Bayu tahu dirinya telah berhasil menyeberangi aliran sungai yang sangat deras.
Kini dia berdiri di tepian sungai, dia berbalik dan melihat sebuah jalan panjang bertanah merah. Dia tahu jalan itu menuju kemana, his home is right ahead, yes, way home . . .home sweet home. . .



~ Bumi ~