Kamis, 11 November 2010

RUSH ( Is all About Forgiveness... )

Setiap orang menerjemahkan kebahagiaan secara berbeda; beberapa menganggap bahwa kaya akan selalu membuatmu bahagia, beberapa lagi berpikir bahwa memiliki seseorang untuk berbagi akan melampaui apa yang mereka sebut dengan “cukup bahagia”, sementara beberapa merasa bahwa tidak tahu apa-apa akan membuat mereka bahagia. Aku akan katakan bahwa aku ingin termasuk dalam mereka yang bahagia karena tidak tahu apa-apa.

Aku sebut ini sebagai kutukan, tetapi aku sendiri merasa heran karena beberapa waktu aku menikmatinya; aku menikmati memandang mereka, memimpikan mereka menjadi “milikku”, berfantasi liar jika kami bercinta. Tapi kebanyakan aku merasa sangat ketakutan; bagaimana jika aku tidak akan bisa menemukan jalanku sendiri? bagaimana jika sampai mati aku akan tetap seperti ini? Bagaimana jika Tuhan memang menciptakanku dalam keadaan seperti ini?—karena itulah aku ingin tidak tahu apa-apa.

Tipe pemikir, itu yang sering orang katakan padaku. Yah, mereka benar, aku selalu memikirkan banyak hal dalam banyak waktuku—dan kebanyakan yang aku pikirkan adalah hal-hal yang sebenarnya terlalu sederhana da tidak penting untuk dipikirkan. Aku terlalu banyak berpikir sementara aku ingin tidak tahu apa-apa.

Maka berhentilah terlalu berpikir. . .
Ya, sementara ini aku akan berhenti berpikir hal-hal yang tidak perlu karena aku harus turun dari bus sialan yang pengapnya minta ampun ini. Dan aku berjalan sendirian, hujan ini terlalu lebat untukku, hingga aku memutuskan untuk berteduh dulu di sebuah toko yang tutup.

Aku melirik arlojiku dengan cemas, 13.22. Kuliah Arsitektur Hijau 13.30. Aku heran sendiri kalau nanti aku tidak terlambat. Semoga. Dalam hati, aku mendengar diriku sendiri menyumpahi hujan ini. Siapa yang suka hujan? Karena aku sedang tidak suka.

Ah ya, dan aku tidak suka ketika ada mobil melintas di jalanan yang basah dengan kecepatan tinggi hingga membuat genangan air terhambur ke mana-mana, bahkan ke arahku. Sekali lagi aku menyumpah. Dan ketika sebuah bus pelan-pelan berhenti di depan toko tempatku berteduh, aku mundur hingga aku bisa merasakan dinding toko beradu dengan punggungku.
Beberapa orang turun, kebanyakan mereka pintar; karena mereka sepertinya telah menduga bahwa akan turun hujan sehingga mereka telah siap dengan payung mereka.

Dan di sanalah aku melihatnya, dalam polo shirt warna ungu gelap dan jins belel, dengan tas ransel memeluk erat tubuhnya, serta topi yang sebenarnya terlalu aneh untuk kepalanya. Dia berlari ke arahku. Sempat dia tersenyum kepadaku, dan kubalas sekenanya. Setelah mendapatkan tempat di bagian lain teras toko yang teduh, dia mengusap lengannya yang basah. Dan dia merangkul tubuhnya sendiri, hampir menggigil. Dia mungkin tidak sadar aku sedang memperhatikannya, memerhatikan kulit wajahnya yang hitam terbakar sinar matahari—walau begitu harus aku akui bahwa dia sungguh manis, aku juga memperhatikan bagian lain polo shirtnya—sepertinya hujan telah membuatnya terlalu basah hingga aku dapat melihat lekukan dadanya.

Aku mengalihkan pandangan ke arlojiku tepat ketika dia menoleh kepadaku—mungkin akhirnya dia sadar telah di awasi. Dan aku tidak memperhatikannya kembali.
“Terlalu lebat ya?”
Aku menoleh, dia bertanya kepadaku.
“Yah,” jawabku tenang, menatap lurus ke matanya yang cokelat terang “hujan menyebalkan ya?”
Dia tersenyum—satu hal lagi baru saja aku sadari, bahwa senyumnya luar biasa manis. Tipe senyum yang akan bisa membuatku betah menatapnya berlama-lama.
“Tidak,” jawabnya pelan “aku suka hujan”.
“Mungkin kau aneh” aku menyahut.
“Mungkin” dia tersenyum lagi, kali ini sambil menatap lurus ke arah jalan di depan—tapi entah kenapa aku merasa dia tidak sedang melihat apapun, sesuatu yang dilihatnya adalah sesuatu yang lebih jauh dari apapun yang dapat kami lihat sekarang.
Itu mengingatkanku pada seseorang; seseorang yang suka sekali pada hujan.

“Hujan adalah penjaga rahasia yang sangat baik” katanya waktu itu, sambil menatap air hujan yang menghujam kaca jendela kelas kami dengan sangat keras—saat itu telah melewati tengah hari, sekolah telah sepi dan kami duduk berdua di dalam kelas kami yang sepi “hujan tidak akan memberitahu orang lain kalau aku sedang menangis, jadi aku tidak perlu malu untuk menangis. . .”
“Kau tahu” kataku dengan sangat lembut, aku ingat saat itu aku meraih tangannya pelan-pelan, dia bisa menerimanya “aku benci mengatakan ini—karena aku mencintaimu, tapi. . .semoga kau bahagia dengannya”.
Dia tersenyum, aku bisa melihat air mata mulai menggenang di ujung-ujung matanya. Entah kenapa itu sangat menggangguku.
“Kau tidak mau memelukku?”, tanyanya dengan lembut, aku yakin sekali genggaman tanganku saat itu semakin kuat, kurasakan dadaku sesak bukan main—tapi aku telah terbiasa dengan semua itu.
“Aku tidak bisa” aku sendiri tidak yakin telah mengatakannya.
Dia tersenyum sangat tulus, air matanya mulai meleleh, dan aku tahu aku tidak bisa menghentikannya. “Itu ide yang bagus”.

Aku beralih waktu kembali, memperhatikan dia yang masih menatap “sesuatu” di luar jangkauan pandangan mataku.
Dia menoleh, terlalu terlambat untuk mengalihkan pandangan lagi. Dia menatapku dan tersenyum.
“Bhumi” katanya.
“Bayu”.

“Kau belum pulang?”
Lyla menggeleng cepat, “Dalam hujan seperti ini? Aku tidak cukup gila untuk melakukannya, Bay”
“Mungkin belum”
“Ya”.
“Kau mau dengar sesuatu?” Tanya Bayu setelah mereka akhirnya memutuskan untuk duduk dalam kelas mereka yang telah sepi.
“Kau tahu aku suka sekali mendengar setiap ceritamu”.
“Aku pikir yang ini tidak akan seperti itu” kata Bayu setengah menggumam.
“Keberatan kalau aku tidak berpikir demikian?”
“Tidak juga” sahut Bayu pelan “aku hanya berharap kau akan mampu mendengarnya, maksudku adalah bahwa aku serius tentang hal ini”
“Silahkan” Lyla menggangguk dengan sangat cepat dan besemangat hingga rambutnya menyibak dengan indah dari pundaknya.
“Ini,” kata Bayu, setengah ragu, “tentang kita. . .”
“Hm?”
Bayu diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku sudah menunggu lebih dari lima tahun ini hanya untuk mengatakan bahwa aku akan selalu jatuh cinta padamu”.
Lyla diam.
Bayu diam.
“Maaf” hanya itulah yang dikatakan Bayu pada akhirnya.
Lyla menatap mata Bayu dalam-dalam.
“Ini lebih besar dari kita”.
“Aku tahu,” Bayu menyahut dengan begitu cepat hingga Lyla hampir tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Bayu, “begitu juga bagi kau dan Lodi”.
Lyla diam kembali.
Hujan di luar semakin lebat.
It’s darkness . . .

Bayu kembali melirik arlojinya; 13.45. Sudah terlambat, dia pikir. Maka dia memutuskan untuk tinggal lebih lama berteduh di sana, mengobrol lebih lama dengan Bhumi. Lagipula, Bayu telah merasa nyaman dengan Bhumi. Bhumi, dia ternyata masih muda, 24 tahun, hanya saja cara dia berbicara dan bertingkah-lah yang membuatnya terkesan telah begitu dewasa. Dia melihat hidup dari banyak sudut yang Bayu yakin tidak banyak orang mampu dan mau melakukannya.
Hidup, pikir Bayu, aku sendiri masih perlu banyak belajar tentang hidup, bahkan aku masih mencari alasan untuk tetap percaya bahwa hidup ini adil. Aku tidak mengerti sebenarnya mana yang tidak adil; aku, hidup, ataukah Tuhan?.
Bolehkah aku menganggap Tuhan-lah yang tidak adil? Karena Dia telah mengambil Ayahku; padahal aku masih sangat membutuhkannya, Dia telah membuatku melalui terlalu banyak kesakitan yang sampai sekarang aku masih tidak mengerti tujuan di baliknya, Dia telah menggagalkanku dalam banyak hal—entah karena Dia tidak mengijinkan atau hanyalah karena aku terlalu naïf, Dia telah membuatku menikmati diriku sendiri berada dalam ironi yang mungkin telah aku ciptakan.
Entahlah, aku pikir aku telah tahu cukup banyak, hanya untuk menyadari bahwa aku ingin tidak tahu apa-apa.
Bayu sendiri masih berusia 21 tahun, dia hanyalah pemikir keras yang suka sekali merenungkan sesuatu begitu dalamnya hingga menguras sebagian besar tenaganya. Senyum palsunya menyimpan banyak tragedi, banyak kesakitan, dan banyak keputusasaan. Namun, sepertinya justru hal-hal itulah yang membuatnya terlihat menonjol di antara teman-temannya, membuatnya menjadi seseorang yang “melebihi kedewasaan usianya”.
“Ah ya,” kata Bhumi “tentu saja, aku pernah melihatmu di bioskop, saat itu—kalau otakku tidak salah mengingat—film yang diputar adalah Milk” Bhumi tersenyum geli.
“Sebenarnya kau tidak perlu tersenyum menyebalkan seperti itu”.
“Biarkan aku” sahut Bhumi, “aku hanya tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi, dunia kita memang sangat sempit ya?”.
“Aku punya duniaku sendiri” jawab Bayu sedikit ketus—tapi ada kesan manja.
“Ya,kita semua punya, tapi aku pikir kita punya dunia yang sama”
“Hampir sama” Bayu mengoreksi dengan sangat cepat. Bhumi melambai rendah.
Mereka diam sejenak sebelum akhirnya Bhumi bertanya lagi “Sejak kapan?”
Bayu menatap heran, “Apanya yang sejak kapan?”
“Kau tahu yang aku pikirkan, ayolah kita sama kan?”
Bayu nyengir, “Entahlah, sejak kecil aku, rasa”
“Tuhan menciptakanmu demikian—kau percaya itu?”
“Kenapa aku merasa tidak harus menjawabnya? Tapi yah, memang aku belum bisa menemukan alasan yang cukup logis kenapa aku bisa sampai pada titik yang salah ini”.
“Salah?” Bhumi menimpali dengan nada tidak setuju “mereka yang merasa normal-lah yang membuatnya terkesan salah”
“Bagaimana kalau mereka benar?”
“Mereka bukan Tuhan tentu saja” jawab Bhumi cepat.
“Jadi kau yakin Tuhan telah sengaja menciptakan orang-orang seperti kita? Kita sama-sama tahu Tuhan tidak pernah salah”.
Bhumi diam.
“Sepertinya, terlalu berlebihan jika kita melanjutkan berdebat tentang hal konyol semacam ini” Bayu akhirnya menengahi dirinya sendiri dan Bhumi.
Bhumi membalas dengan satu cengiran menyebalkan hanya untuk menunjukkan kesetujuannya.
Hujan telah reda, Bayu memutuskan untuk pergi, dia sudah terlalu lama mengobrol, dia telah lupa akan kuliah Arsitektur Hijau-nya, dia telah sementara lupa pada kesakitan yang setiap hari mengejarnya—membuatnya kadang-kadang terpaksa mengenakan topeng “normal”nya, karena dia telah menemukan seseorang yang bernasib sama dengan dirinya, seseorang yang merasa menjadi salah satu kaum minoritas dari sekian mayoritas.
“Bay,” kata Bhumi, mencegah Bayu sebelum dia pergi “senang bertemu denganmu”.
Bayu tersenyum, lalu menunjukkan ponselnya. Dengan ekspresi wajah yang sangat cerah, Bhumi segera merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik nomor ponsel Bayu.
“Kita akan bertemu lagi”.
“Tentu,” jawab Bayu “sampai nanti”.

Aku mencintainya dan aku bersyukur karena aku tahu hal itu. Bayu mengakhiri blog-nya dengan sebuah senyum simpul. Sebuah senyum sangat sederhana yang mampu menerjemahkan perasaan bahagia yang tidak bisa dibahasakan. Dia tentu saja sadar bahwa dia baru saja membuat Bhumi merasa sangat spesial, haruskah ditekankan kembali bahwa Bhumi memang spesial untuk Bayu? Biarlah hanya mereka berdua yang benar-benar tahu.
Telah dua tahun sejak mereka bertemu, dan telah mencapai hampir satu setengah tahun sejak mereka memutuskan untuk bersama. Kebersamaan bagi mereka hanyalah kata, kebersamaan yang mereka definisikan adalah apa yang telah membuat mereka melalui hari-hari mereka; adalah bagaimana mereka mengartikan setiap senyuman kecil dari masing-masing; adalah perasaan yang kadang terlalu membabi-buta; adalah mereka.
Mereka menjalaninya dengan sangat normal. Bahkan mereka telah menganggap minoritas seperti mereka tidak memiliki perbedaan yang pantas untuk diperdebatkan, mereka telah sepakat bahwa mereka normal. Mungkin orang akan berpikir bahwa dunia sudah mulai kacau—tapi Bayu dan Bhumi berpikir, bukankah dunia sudah sedemikian kacau, bahkan sebelum Bayu dan Bhumi terwakilkan oleh kata ”mereka”?
Sehingga tidak ada cukup alasan bagi mereka untuk tidak merasa bahagia. Namun, mereka juga telah cukup dewasa untuk mengerti bahwa ada batas untuk segala sesuatunya, bahkan untuk mereka. Bhumi dan Bayu menghormati batas-batas tersebut karena mereka menghargai orang lain; karena mereka ingin pula dihormati. Seperti itulah seharusnya hukum alam. Seperti hukum karma, maka seharusnya berlaku pula untuk setiap kebaikan kecil yang berusaha mereka lakukan.
Tapi minoritas tetaplah minoritas, butuh waktu dan usaha yang melelahkan untuk mengubahnya menjadi mayoritas—bahkan mungkin akan ada yang mengatakan itu tidak mungkin. Pada titik ini Bhumi dan Bayu tahu, antara minoritas dan mayoritas telah sekian lama terjadi tabrakan dalam banyak hal. Semua ingin dihormati, semua ingin dihargai, semua ingin dicintai, semua ingin benar-benar berhak untuk memutuskan. Tapi tak semua menghormati, tak semua menghargai, tak banyak mayoritas yang peduli pada minoritas. Tabrakan-tabrakan itu seperti aliran air yang sangat deras, terlampau cepat berlalu, terlalu dalam meninggalkan bekas dan menghancurkan.
Namun, Bhumi dan Bayu telah mengerti bahwa tidak perlu ada minoritas dan mayoritas, karena perbedaan itu selalu menyertai persamaan, keduanya berjalan, keduanya melangkah maju, keduanya berada pada sebuah pijakan tanah yang sama.
Bayu dan Bhumi tidak pernah keberatan jika ada orang lain yang mengganggap mereka sebagai minoritas yang tak normal, karena Bayu dan Bhumi merasa masih berada dalam lingkup batas yang tidak akan merendahkan batas-batas itu sendiri. Mereka hanya melakukan apa yang kebanyakan orang lain lakukan. Mereka menikmati sore dengan menonton komedi di televisi atau jalan-jalan di alun-alun kota. Mereka mengawali pagi mereka dengan saling mengucapkan selamat pagi dan saling mengecup kening. Mereka mengisi siang mereka dengan kegiatan normal masing-masing. Mereka menghargai malam mereka dengan saling berbagi cerita; mengeluhkan siang yang panas, pagi yang terlampau dingin, atau orang-orang yang terlalu menyebalkan.
Dua orang itu berbagi satu kamar kos. Sehingga kadang pada malam hari, apabila mereka telah mencapai romantika ironis, mereka akan mulai mencumbu satu sama lain, tidak perlu suara dalam romatika mereka, setiap sentuhan, setiap belaian, dan setiap kecupan akan jauh lebih berharga tanpa adanya kata-kata. Mereka memang perlu diam—tapi mereka juga berpikir mereka tidak perlu bersuara.
Biarkanlah kami menikmati malam yang sama.
Sore itu merupakan sore yang cukup nyaman. Udara pergantian musim membawa angin hangat yang menyenangkan. Bhumi dan Bayu berpikir sore itu akan lebih baik jika mereka pergi mencari beberapa buku atau DVD movie atau bahkan CD terbaru dari Three Days Grace, band favorit mereka. Setelah memarkir motor, keduanya langsung melangkah santai ke dalam toko buku yang berada dekat dengan alun-alun.
”Kau yakin album barunya telah rilis?” tanya Bhumi sambil menelusuri rak CD musik.
”Sangat yakin,” jawab Bayu dengan pasti ”seharusnya kau telah tahu itu”.
Mereka tetap mencari, dan tanpa sadar keduanya telah berada pada sisi rak yang berjauhan. Bayu telah menemukan album Three Days Grace yang dicarinya, sementara Bhumi masih ingin mencari album Disturbed.
”Bhumi?”
Bhumi seketika menoleh dan terheran.
Bhumi menatap orang di sebelahnya. Penampilannya biasa, dengan kemeja lengan panjang warna putih dan celana jins biru gelap, serta model rambut emo yang tampak sangat ringan,namun dia sungguh menarik perhatian.
”Bhumi kan?”
”Kau?”
”Yeah, aku, Gusta”.
Sejenak Bhumi terlihat begitu salah tingkah, ”Bukankah kau seharusnya telah berada di Bogor?”, akhirnya hanya itulah yang meluncur di lidahnya, itupun dengan sedikit terbata.
”Jangan berekspresi seakan aku tidak boleh ke sini” Gusta menggoda dan segera memeluk Bhumi. Awalnya Bhumi sedikit mengelak tapi akhirnya dia membiarkan Gusta memeluknya dengan hangat. ”Sudah berapa lama? Aku sedikit lupa”.
”Uhmm,” Bhumi tak berani menatap mata Gusta ”tiga tahun kalau aku tidak salah”.
”Selama itu kah?”
”Kau pikir?”
”Tidak, hanya saja. . .” Gusta menelusuri Bhumi dari atas ke bawah ”kau tidak banyak berubah”.
”Aku berubah”.
”Ayolah, I know u. . .”.
”You knew me. . .you don’t”.
”Lihat kan? ” sanggah Gusta ”kau masih tetap tak mau kalah”.
”Kau pernah mengalahkanku, kalau itu yang kau maksud”
Gusta tertawa pelan, terlihat susunan giginya yang nyaris sempurna ”Aku mengerti apa yang berubah, kau jadi lebih sensitif, ayolah, it’s over. . .omong-omong, sedang apa?”.
Bhumi menoleh pada Bayu yang sekarang telah beralih ke rak buku-buku Arsitektur. Gusta ikut menoleh dan tersenyum geli.
”Dia?”
”Yeah”.
”Uhmmm, aneh” kata Gusta.
”Uh?”
”Bukan tipemu aku rasa”.
”Memang,” jawab Bhumi tegas ”aku bosan dengan tipe, aku bersamanya karena aku telah belajar bahwa mencintai berdasar tipe hanya akan membuatku terbuang, kau masih ingat kan bagaimana kau membuangku hanya karena kau akan pergi jauh untuk waktu yang kau sendiri tidak tahu”.
”Relax” sahut Gusta ”kau telah dewasa”.
”Syukurlah kau tahu”.
Bhumi beralih kembali pada CD yang dicarinya.
”Gusta!”
Suara melengking itu segera membuat Gusta dan Bhumi menoleh. Dia sedang berlari menghampiri Bhumi dan Gusta. Rambutnya yang pendek sebahu tampak tergoncang ke kanan dan ke kiri dengan indah.
”Sudah?” tanyanya pada Gusta, lalu perhatiannya beralih pada Bhumi yang lagi-lagi sedikit terperangah ”Bhumi?”.
”Kau ingat kan?” tanya Gusta pada Bhumi ”pada adik kembarku Ghita?”.
Bhumi tersenyum senang, sepertinya dia lebih rela bertemu dengan Ghita daripada dengan Gusta.
“Ah ya, tentu saja” kata Bhumi, kali ini Bhumi-lah yang memilih untuk memeluk Ghita. Ghita pun sepertinya senang sekali bertemu dengan Bhumi.
“Apa kabar?” tanya Ghita setelah Bhumi melepaskannya.
“Seperti yang terlihat”.
“Salahkah kalau aku mengira kau sedang sangat bahagia?”
“Uhmmm,” Bhumi sedikit tersipu saat menjawabnya “bolehlah, semacam itu”.
Dengan raut wajah agak sedikit kecewa, Ghita bertanya kembali “Telah ada seseorang lagi? Setelah abangku?”.
Bhumi hanya menunjuk Bayu dengan jempolnya.
“Ah ya” kata Ghita dengan nada yang sedikit lebih pelan.
Bhumi mengernyit “adakah yang salah?”.
Ghita menggeleng pelan, “kau tahu aku tidak pernah berpikir kalian salah”.
Bhumi tersenyum.
“Okelah,” kata Gusta akhirnya “aku pikir, aku dan Ghita tidak mau membuat mama kami menunggu terlalu lama di luar, sampai jumpa Bhumi”.
“Dah” entah memang Bhumi ingin membuat Gusta jengkel atau bagaimana, tapi yang jelas Bhumi lebih memilih mengucapkan itu pada Ghita.
Ghita tersenyum manis, lalu kakak beradik itu berjalan keluar berdampingan.
“Itukah Gusta?”
Bhumi menoleh, Bayu memandangnya sambil tersenyum.
“Huh?”.
“Aku melihatnya memelukmu tadi” sahut Bayu cepat “percaya atau tidak, I saw the connection”.
“Oh Bay. . .aku tidak bermaksud untuk. . ..”
Bayu nyengir, “Tapi tentu saja aku percaya hubungan seperti itu telah usang, yang ada sekarang hanyalah aku dan kau. . . ya kan?”.
Keduanya saling tersenyum, tanpa mereka sadari telah ada sesuatu yang mulai berubah.
Hari-hari berikutnya terasa sedikit berbeda, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Bayu. Bhumi jadi lebih jarang memeluknya, dia juga jadi lebih sering terlihat melamun. Ketika Bayu menanyakan sebabnya, Bhumi lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
Bayu percaya pada Bhumi tentu saja, tapi semua itu membuat Bayu berpikir lebih dari biasanya tentang hubungan mereka. Tentang bagaimana hubungan mereka pasti akan berakhir, tentang apa yang akan Bayu lakukan tanpa adanya Bhumi. Saat itulah Bayu mulai memikirkan hal lain yang dulu diluar jangkauan imajinasinya. Dia merasa sudah harus belajar mencintai yang lain, dia mulai harus belajar menyerah dan mengikuti kebiasaan orang-orang di sekitarnya—mayoritas, dia mulai harus belajar memenuhi tuntutan pola hubungan “orang normal” dalam mayoritas, maka mungkin dia akan menjadi bagian dari mayoritas—sebenarnya Bayu enggan memikirkan kembali tentang hal-hal mayoritas-minoritas itu, tapi Bayu sendiri merasa semua telah mulai berada di luar kendalinya. Pun Bayu sendiri bukan tipe orang yang akan merasa terganggu saat tidak memegang kendali, baginya dapat mengendalikan diri sendiri itu pun sudah cukup.
“Bhumi,” kata Bayu saat mereka duduk berdampingan di kamar kos mereka, Bhumi tengah mengerjakan skripsinya.
“Bhumi” kata Bayu sekali lagi. Namun Bhumi hanya menanggapinya dengan “hah?” sekenanya.
“Listen to me” rengek Bayu.
“I'm listening to you dear” tapi Bhumi tidak menoleh, nada bicaranya seakan menunjukkan Bhumi sedang tidak ingin diganggu—bukan karena skripsinya—melainkan karena hal lain yang mungkin terlalu gamblang untuk dikatakan begitu saja.
“You're not. . .You're just hearing me”.
Akhirnya Bhumi beralih pada Bayu, dan seketika mengecup bibir Bayu dengan lembut. “Sorry dear. . .didn't mean to, sekarang, apa yang ingin kau bicarakan? Apakah ini tentang kuliahmu?”.
Bayu menggeleng pelan. “Ini tentang aku dan kau”.
Entah kenapa kalimat itu terdengar begitu aneh bahkan bagi mereka berdua. Aku dan kau. Biasanya hanya ada kita atau kami.
“Apa aku dan kau baik-baik saja?” tanya Bayu pelan tapi dengan nada yang sungguh-sungguh.
Bhumi mengernyit, “Tentu saja my dear, kita sangat baik-baik saja” Bhumi membelai tepi wajah Bayu. Tapi Bayu memalingkan wajah, berpura-pura menatap jam dinding di atas mereka.
“Kenapa?” tanya Bhumi heran.
Bayu hanya menjawabnya dengan kecupan dingin di bibir Bhumi lalu segera beranjak.
Bhumi hampir mencegahnya ketika Bayu berhenti di ambang pintu dan berkata “Sudah hampir dua tahun, Bhumi . . . ”. Saat itulah Bhumi hampir yakin ada setitik air mengambang di sudut-sudut mata Bayu.
Mereka berdua merasa telah melalui segalanya, tapi kali ini, mereka sama sekali merasa asing. Keduanya merasa gelisah. Keduanya merasa aneh, sama-sama enggan.

And the blue is getting darker.
Ironic becomes tragedy.
Tragedy is heading its end.
And the pain will soon become suffer.

Semuanya semakin terasa aneh bagi Bayu dan Bhumi, mereka telah menjadi lebih canggung untuk menatap satu sama lain, padahal sebelumnya mereka menikmatinya bahkan hingga satu jam lamanya hanya untuk menunjukkan betapa mereka saling mengagumi satu sama lain.
Petang itu, Bayu sedang duduk bersama Emill, kawannya, di sebuah food court.
“Hmmm,” gumam Emill “jadi begitu? Mungkin kau harus membicarakannya dengan Bhumi—membicarakannya, bukan mendebat-kannya — kau pasti tahu maksudku”.
Bayu menyeruput cappucino-nya sebentar lalu menanggapi “aku telah berkali-kali menanyakannya, alih-alih menjawabnya, dia mengalihkan pembicaraan, aku benci sikapnya yang satu itu”.
“Aku bilang kau harus membicarakannya—bukan mendebatkannya—bukan menanyakannya”. Emill menimpali dengan nada sangat mengejek.
“Bagaimana?”
“Kau akan belajar tentang itu, mungkin malah akan terjadi secara refleks”.
“Omong kosong”.
“Hahaha,” Emill bertingkah tertawa “kau sungguh lucu hari ini Bay. . .kau tahu kau bisa belajar . . .” Emill berhenti di tengah ejekannya, menatap ke arah lain. Pandangan matanya mengikuti dua orang yang sedang menyusuri koridor di depan deretan toko-toko mall itu.
“Tidak mungkin. . . “ katanya kemudian.
Bayu ikut menoleh ke arah yang sama. Dia mungkin sudah menduganya, tapi tetap saja dia tidak bergeming sedikitpun. Pun bahkan mengeluarkan kata-kata. Dia menahan napasnya, dadanya terasa sangat sesak. Dia pikir telah mempelajari semuanya hingga dia yakin dia akan baik-baik saja, tapi ternyata semua salah, dia harus mempelajari semuanya dari awal lagi. Dengan mempertaruhkan bahwa dia akan mengerti semuanya sekali lagi atau bahkan dia ingin tidak tahu apa-apa.
Bhumi dan Gusta tidak menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan oleh dua pasang mata dari lantai 3. Mereka tetap serius membicarakan sesuatu.
Emill beralih kepada Bayu. Dia saat itu hampir yakin dia akan melihat air mata mengalir di pipi Bayu. Dia salah. Dia tidak melihat air mata, dia melihat mata Bayu penuh dengan kekosongan. Seketika Bayu bangkit dan meninggalkan Emill begitu saja. Dan ketika Emill mengikutinya, Bayu menolak. Dengan sangat dingin, Bayu menjawab “Aku mungkin merasa buruk, tapi aku akan baik-baik saja, lebih baik kau pulang, ini sudah cukup sore”. Pun Emill merasa tidak berguna apabila dia mendebat lebih lama lagi.
Sesuai perkiraan Emill, Bayu tidak menyusul Bhumi, Bayu is in his way home, even he doesn’t really know whether he can still call it home or just a room of a friend. His home might have just broken, but he decided not to allow it happen.
Bayu tidak akan mengakhiri begitu saja, dia sangat ingin Bhumi berbicara tentang kejadian tadi. Karena itulah Bayu menunggu di kamar kos Bhumi dengan sangat gelisah.
Dan ketika jam dinding mulai menunjukkan pukul 21.30 Bayu tidak sadar bahwa dia tertidur dengan sangat pulas, di dadanya, dia memeluk erat sebuah bingkai foto. Foto itu sungguh akan membuat siapapun iri.
Dengan background dinding kamar kos Bhumi yang catnya dengan sangat sederhana baru dicat ungu muda, Bayu dan Bhumi sedang berpelukan, tangan keduanya bersatu menjunjung sebuah cake berukuran kecil dengan satu lilin di atasnya. Emill yang mengambil foto mereka saat itu pun hampir iri melihatnya. Tidak ada satu kecacatan pun di dalam hubungan Bayu dan Bhumi yang ditunjukkan foto itu.
Foto itu sangat sederhana, tapi ekspresi wajah Bhumi dan Bayu mampu meyalakan beribu cahaya kecil yang tak terlihat. Tawa keduanya begitu hangat, begitu bahagia. Salah satu tangan Bhumi yang bebas sedang merangkul Bayu, menariknya ke dalam pelukannya, dan kebersamaan yang tak dapat dijelaskan telah tergambar dalam foto itu. Foto itu juga merupakan bukti bahwa mereka tidak mau memperdebatkan mayoritas-minoritas atau normal dan tidak normal. Bagi mereka, kebahagiaan saat itu melebihi batas yang diberikan oleh “orang-orang normal di luar sana”. Kebahagiaan yang takkan sanggup ditempuh dengan jalan pintas manapun.
Di atas foto itu, ada tulisan berbunyikan “Kami mungkin tidak akan pernah menang, tapi kami tidak akan membiarkan siapapun mengalahkan kami”.
Ketika Bayu terbangun, dia telah merasakan tangan Bhumi sedang memeluk perutnya dengan erat, hingga dada Bhumi beradu dengan punggung Bayu. Dulu, jika itu terjadi, Bayu akan merasa sangat hangat, dan dia akan membalasnya dengan sebuah kecupan hangat esok paginya. Tapi tidak kali ini, yang dirasakan Bayu hanyalah tangan dingin yang mungkin sedang mempermainkannya.
Dengan amat perlahan, Bayu melepaskan diri dari pelukan Bhumi dan dia duduk di tepi ranjang. Saat menoleh pada Bhumi yang tertidur dengan sangat nyaman, Bayu merasa miris. “Ini bukan akhir yang kita inginkan, Bhumi” gumamnya pelan.
Sebuah suara getaran pelan yang beradu dengan papan kayu membuat Bayu menoleh. Ponsel Bhumi sedang berkedip samar. Awalnya, Bayu menolak untuk mendengarkan suara hatinya yang berteriak “raihlah!!!”, tapi akhirnya Bayu melakukannya.
Sebuah pesan pendek yang dikirim oleh nomor tak dikenal membuat Bayu tertegun sejenak, kembali dia ragu untuk mencari tahu lebih jauh. Tapi ketidakinginannya untuk dipermainkan mengalahkan keraguannya. Bayu menekan sebuah tombol dan membaca isi pesan singkat tersebut.
“Have a smiling moon outside your window, sweetheart”.
Benar-benar sebuah pesan singkat yang meninggalkan luka terlalu lama.
Bayu meletakkan ponsel Bhumi ke tempat semula dan mengenakan jaketnya dan dengan sedikit berjingkit, melangkah keluar.
Tak ada tujuan pasti. Hanya ingin merasakan angin malam yang dingin. Terlampau dingin. Tapi tak cukup dingin untuk mengalahkan hati Bayu yang beku.
Sebuah mobil menepi tepat saat Bayu menyusuri trotoar di depan sebuah warung kopi yang sepi. Seseorang turun dari mobil itu dan serta merta menghampiri Bayu.
“Bagaimana kau bisa sampai di sini?” Tanya Emill mulai khawatir setelah dia melihat pandangan mata Bayu yang tidak biasanya.
“Jalan kaki”.
“Kenapa?”
“Hanya karena aku ingin”.
“Masuklah” Emill menyeret Bayu ke dalam mobilnya. Bayu hanya menurut, tidak ada tenaga untuk menolaknya.
Mobil itu pun melaju, memecah dinginnya jalanan malam. Bayu yang duduk diam dalam mobil Emill tak menjawab satupun dari pertanyaan yang diajukan Emill. Emill pun tak mau ambil pusing terus-terusan membombardir pertanyaan pada mayat hidup.
Sekarang hanya tinggal memilih, berjuang untuk bertahan ataukah merelakan untuk bertaruh atas sesuatu yang masih belum jelas.
Tapi kami telah cukup bahagia selama ini—jauh dari hanya sekedar bahagia.
Bayu memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh—walaupun saat itu dia takut mengetahui sesuatu. Tapi apa yang ditakutkannya adalah kemungkinan bahwa dia akan memiliki hidup yang lain.
Tanpa Bhumi.
And he feels like he has to be ready for the next step.

Berat untuk melakukannya memang, Bayu sendiri menyadarinya dengan sangat jelas, namun segala resiko akan sangat dengan mantap dia ambil untuk membuat semuanya menjadi jelas.
Mungkin tidak, mungkin alasanku sebenarnya bukan untuk membuat semuanya menjadi lebih jelas, mungkin aku hanya egois, aku hanya tidak ingin kehilangan Bhumi, sejak dia telah berarti banyak hal untukku. Dan tidak ada alasan untuk mengacuhkan hal seperti itu.
Bayu dengan sengaja mengikuti Gusta setelah dia melihat Gusta dan Bhumi baru saja berpisah di depan sebuah toko perhiasan.
Toko perhiasan? What the . . .
Dengan motornya, Bayu mengikuti Gusta hingga dia berhenti di depan sebuah—kali ini—toko bunga.
Toko perhiasan, toko bunga. . .lalu apalagi?
Beberapa saat kemudian, Gusta keluar dari toko bunga dengan senyum bahagia. Tak ada yang pernah benar-benar tahu arti sebuah senyuman tapi Bayu memutuskan senyuman itu adalah pertanda buruk baginya.
Bayu kembali mengikuti Gusta, beberapa kali dia harus berhenti untuk berpura-pura membeli sesuatu hanya karena dia merasa Gusta telah menyadari telah diikuti.
Dan sekarang Bayu memilih berpura-pura sedang menawar durian di tepi jalan setelah dia melihat Gusta berhenti di depan sebuah galeri lukisan.
Perhiasan, bunga, dan lukisan . . . tidakkah semua itu terlalu aneh untuk dihubung-hubungkan? Kecuali. . .
Cukup. Bayu tidak mau berpikiran yang lebih aneh lagi. Maka setelah dia melihat Gusta keluar dari galeri lukisan dengan membawa sebuah –sepertinya—lukisan yang dibungkus dengan kertas koran, Bayu memilih untuk pulang. Dia sudah pusing setengah mati memikirkan semua itu.
Pulang. . .
Entah kenapa, sekarang kata-kata itu menjadi sangat aneh. Sekarang dia tidak punya rumah. Bhumi—yang terbiasa menjadi rumahnya—kini rasanya telah hilang. Bayu seakan sudah diusir dari rumah yang biasa ditinggalinya—Bhumi.
Rumah—bagi Bayu—bukanlah ruangan berukuran 4 m x 4 m yang disewa Bhumi sebagai kamar kos. Bayu menganggap, Bhumi-lah rumahnya. Kemanapun Bayu pergi, selama ada Bhumi, dia telah merasa berada di rumah.
Home sweet home.
But now it’s full of pain.
Dengan lemas, Bayu melangkah memasuki kamar kos Bhumi—dia sekarang sudah mulai merasa sungkan, ruangan itu terasa sebagi ruangan orang asing yang dengan tanpa ijin dimasukinya.
“Dear. . .” kata Bhumi seketika melemparkan buku yang sedang dibacanya dan serta merta menarik Bayu ke dalam pelukannya—sekali lagi bayu merasa dingin—amat dingin.
“Kemana saja kau seharian? I do miss u. . .” Kata Bhumi, mengecup bibir Bayu dengan mesra. Tapi Bayu segera melepaskannya.
Bhumi mengernyit.
“Please” kata Bayu memohon “we really need to talk—not speak”.
Bhumi menghela napas panjang.
Bayu duduk di tepi tempat tidur, Bhumi mengikuti.
“Adakah yang salah?” Tanya Bhumi dengan nada pelan namun agak sedikit berpura-pura. Dan Bayu adalah tipe orang yang sensitif, dia akan merasa ada yang aneh saat seseorang berbohong. Dan Bayu tahu Bhumi sedang berpura-pura.
Bayu mengela napas panjang. Dia merasa telah benar-benar dipermainkan.
Kalau kau sudah tak mencintaiku lagi, katakanlah sekarang. Aku akan baik-baik saja nanti, pikir Bayu. Namun, bukan kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Tidakkah kau merasa semuanya telah mulai terasa salah?” Tanya Bayu pelan, dia mencoba menyembunyikan kesedihannya, kekecewaannya, dan ketidaksiapannya untuk menerima jawaban yang dipikirkannya.
“Salah?” Tanya Bhumi balik “Apa maksudmu? Oh tidak, jangan katakan kau kembali berpikir bahwa hubungan kita ini salah”.
“Mungkin iya” sahut Bayu “atau mungkin tidak—aku sekarang sangat bingung. Aku merasa hubungan kita ini tidak akan pernah salah, tapi aku merasa kita-lah yang sedang salah”.
“Ok dear,” kata Bhumi memelas “sekarang aku benar-benar tidak mengerti”.
“Tidakkah kau merasa ini semua aneh?” sahut Bayu mulai terdengar jengkel “aku tidak bisa merasakan saat kau memelukku, aku hanya merasa dingin saat kau menciumku—aku tahu aku terdengar konyol, tapi pikirkanlah”.
Bhumi tak menanggapi, dia tertunduk lesu. Bayu tahu ada sesuatu yang ingin dikatakannya—atau ada sesuatu yang harus dikatakannya, sekarang atau semua akan terlalu terlambat untuk diperbaiki.
Bhumi mendongak kembali, menatap mata Bayu sedalam mungkin.
So this is it? Ok, I will be just fine.
“ Dear,” kata Bhumi “ I love you. . . you know that, and I have to prove nothing to show u I do”
You’re lying, Bhumi. . .
Bayu menghela napas lagi. Dan memutuskan bangkit. Bhumi juga berdiri.
“Tahukah kau Bhumi? Aku benar-benar menyayangimu, dan aku akan sangat bahagia bila aku bisa menjadi seseorang yang bisa membuatmu bahagia, kalau aku mulai meracau, maka benarkanlah aku, dan aku akan melakukan apapun—apapun Bhumi—untuk melihatmu bahagia, jadi saat kau siap, katakanlah yang ingin aku dengar”. Bayu dengan segera meraih tasnya kembali dan beranjak keluar.
Meninggalkan Bhumi yang masih terpaku tak percaya. Seketika Bhumi menghempaskan diri ke atas tempat tidur.
Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya. Beberapa kali menekan tombol lalu mendekatkannya ke telinganya.
“Aku pikir Bayu telah mulai curiga, atau bahkan dia sudah mengetahuinya. Aku sudah hampir mengatakannya tadi, tapi entah kenapa aku tidak bisa, aku belum bisa, dia terlalu tidak berdosa untuk menerima apa yang akan aku katakan . . . mungkin aku akan butuh waktu sebentar lagi“ katanya pada ponselnya.
Dan seseorang dari seberang jaringan berkata dengan sangat lembut “Aku mencintaimu, dan akan menunggu hingga semua bisa teratasi, aku akan mengikutimu, tapi sekarang aku hanya bisa berpura-pura—itulah yang kau minta”.

Gusta menyerahkan beberapa lembar uang ribuan kepada kasir, dan menerima selembar tanda terima.
Ponselnya bergetar dalam sakunya, dengan sangat cekatan dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Segera dia mendengarkan suara dari dalam ponsel.
“Beres?” kata Bhumi.
“Seperti yang kau minta, Hun” jawab Gusta.
“Berhentilah memanggilku begitu” kata Bhumi bermaksud terdengar menjengkelkan, tapi justru terdengar manja di telinga Gusta.
“Aku akan terbiasa memanggilmu seperti itu lagi” sahut Gusta terlampau cepat hingga Bhumi tak mendengarnya dengan jelas.
“Huh?”
“Tidak,” jawab Gusta cepat-cepat “Emmm, Bhumi, apakah kau sedang bersama Bayu saat ini?”
“Hah?” kata Bhumi “tidak, aku sedang tidak bersamanya, dia keluar dan tidak mengatakan akan pergi kemana, memangnya kenapa?”
“Tidak,” jawab Gusta balik “sepertinya, dia sudah tahu”.
“Hah? Tahu apa?”
“Semuanya, oke mungkin dia mungkin belum tahu, tapi aku yakin dia telah curiga”.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”
“Selamat malam”.
Gusta tidak mau berlama-lama mencampuri urusan Bhumi dan Bayu. Dia lebih memilih membiarkan Bhumi menyelesaikan masalahnya dengan Bayu terlebih dahulu sebelum Bhumi melangkah untuk yang lainnya.
“Bebanmu akan lebih berat, Bhumi. Jadi aku harap kau bisa lebih bijak”.

“Ada apa lagi?” tanya Emill, lalu duduk di depan Bayu. Bayu menelepon Emill untuk meminta nasihatnya—atau hanya untuk sekedar teman berbincang.
“Permisi mas,” kata seorang waitress yang dengan sigap menghampiri meja Bayu setelah melihat Emill datang “mau tambah pesanannya?”
“Cappucino dengan granuld yang banyak, mungkin?” jawab Emill.
“Baiklah”
“Terima kasih” kata Bayu dan Emill bersamaan.
“Maaf harus membuatmu datang hujan-hujan seperti” kata Bayu memulai “aku benar-benar tidak tahu harus bicara pada siapa, Emill”.
“Katakanlah”.
“Harus darimana?”.
“Putuskanlah”.
“Aku baru saja mengikuti Gusta” kata Bayu.
“Huh?” Emill membenarkan kursinya “untuk apa?”
“Kebenaran,” sahut Bayu “aku tidak mau berakhir tanpa alasan yang jelas, dan aku tidak mau mendengar alasan apapun dari orang lain—bahkan dari Bhumi—aku harus mendengarnya sendiri, melihatnya dengan mata kepalaku sendiri”.
“Kau berhak tentu saja” kata Emill “tapi tidakkah kau . . .”
Emill berhenti karena cappuccino-nya datang.
“Terima kasih Mbak”.
“Tapi tidakkah kau merasa bahwa dengan melakukan ini semua kau justru akan merasa lebih sakit—kau menyakiti dirimu sendiri, Bayu, dan aku benci kalau kau mulai seperti itu”.
“Karena aku tidak tahu harus bagaimana”.
“Kau tahu kau harus bagaimana, hanya saja, kadang kau terlalu mengintimidasi dirimu hingga kau berlaku berlebihan”.
“Ini tidak berlebihan”.
“Itu berlebihan”.
Mereka diam.
“Bayu,” kata Emill “aku yakin dari awal sebelum kau memutuskan untuk menjalani ini, kau telah memutuskan untuk mampu menerima apapun resikonya, termasuk resiko bahwa kalian tidak bisa bertahan lebih lama lagi”.
Bayu diam. Dia memutar-mutar cangkirnya yang berisi coffee latte.
“Ya,” katanya akhirnya “aku memang sudah seharusnya siap dengan resiko-resikonya, tapi . . . akhir seperti ini datang terlalu cepat”.
“Memangnya kau mengharapkan bisa bertahan berapa lama lagi?”
“Entahlah,” tukas Bayu, menghempaskan punggungnya hingga beradu dengan sandaran kursi yang didudukinya “selama mungkin”.
Emill menggeser maju kursinya, sedikit membungkuk, mendekat pada Bayu.
“Kau masih benar-benar mencintainya, ya?” tanya Emill pelan.
“Masih sama seperti saat aku pertama jatuh cinta padanya”.
“Oke” kata Emill menyerah “that’s fine”.
Mereka kembali diam. Emill menatap Bayu dengan pandangan kasihan, sebenarnya, dalam keadaan normal, Bayu akan menolak menerima pandangan seperti itu, tapi sekarang Bayu hanya bisa berpikir tentang dirinya sendiri dan Bhumi.
“Kalau dia pergi, dia akan meninggalkan banyak sekali bekas” kata Bayu akhirnya, Emill hanya mendengarkan, “kau tahu, yah kau pasti tahu, bahwa sebelum bertemu dengannya saat hujan itu, aku adalah orang yang terbiasa ketakutan dekat dengan seseorang, karena aku takut jatuh cinta”.
“Bekas-bekas itu muncul bukan karena dia pergi, hanya masalah waktu Bayu, maka sebelum itu,” Emill menyesal telah mengatakan hal seperti itu, tapi dia telah berada di tengah jalan, jadi dia terus melanjutkan kata-katanya “maka sebelum itu, aku pikir kau akan belajar untuk melepaskannya”.
Bayu memainkan tepi cangkirnya yang berisi cokelat panas.
Kalau saja saat itu mereka tidak berada di tempat umum, mungkin Emill akan memeluk Bayu. Karena Emill tahu, cinta masa lalu Bayu telah melukainya cukup dalam, sehingga saat mendengar Bayu telah menemukan Bhumi, Emill lega sekali. Dan sekarang Emill sedikit bingung harus mengatakan apa lagi.
“Where did I go wrong, Emill? I really hope you can answer it” sambung Bayu.
“Sorry, but I can’t” sahut Emill segera “dan aku akan mengatakan bahwa tidak ada yang salah, seperti yang sering kau katakan ‘mari kita anggap ini sebagai rencana-Nya’ “.
“Aku,” Bayu terhenti, sesaat Emill hampir yakin bahwa Bayu akan menangis, kentara sekali saat Bayu menahan sesak di dadanya, terlebih lagi Bayu menghela napas dan tidak meneruskan kata-katanya.
Emill mendorong cangkir Bayu lebih dekat pada Bayu, seakan memberi isyarat “sebaiknya kau minum”.
Bayu mengangkat cangkirnya dengan lemas. Dan memaksa dirinya sendiri untuk meneguk cokelatnya yang saat itu sebenarnya mulai dingin.
Beberapa saat kemudian, Bayu kembali bicara.
“Aku benci kalau harus sendirian lagi”.

Ada kalanya saat semua tidak bisa diperkirakan, maka yang bisa dilakukan hanyalah menebak—bagi Bayu, menebak dan memberikan perkiraan itu tidak sama, perkiraan telah mempunyai petunjuk walaupun samar, sedangkan menebak hanyalah memberikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti. Bayu benci sekali harus menebak-nebak, itu menyakitinya.
Memikirkan segala kemungkinan buruk yang barangkali akan segera terjadi membuat Bayu tidak bisa berpikir positif, hingga segala sesuatu yang dilakukannya terasa salah. “Seharusnya aku . . .” dan “Bagaimana jika . . .”. Kata-kata seperti itu sekarang lebih sering muncul dalam pikiran Bayu.
Bayu terus-terusan meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak memikirkan segaa hal secara berlebihan, namun pikiran negatifnya terus berkembang dan kin telah memasuki tahap “terlalu berlebihan”. Beberapa kali Bayu mengira jika memang akhir dari hubungannya akan seperti apa yang dia takutkan, mungkin Bayu akan memutuskan untuk bunuh diri.
Dalam pertarungannya dengan dirinya sendiri, Bayu merasa sangat lemah. Pikirannya terganggu, kacau sekali. Merasa terlalu banyak yang harus dipikirkan, Bayu mengambil sebuah langkah nekat.
Bayu melihat Gusta baru saja keluar dari sebuah stasiun radio tempat Gusta bekerja. Saat Gusta hendak masuk ke mobilnya, Bayu berlari menghampirinya.
Gusta menatapnya dalam-dalam. Sebenarnya Gusta telah menebak apa yang akan terjadi, maka dia hanya berkata “masuklah”.
Dan di sanalah keduanya, duduk di jok depan mobil Gusta.
Bayu bingung harus memulai darimana, dan Gusta telah dapat membacanya dari raut wajah Bayu. Sehingga Gusta memutuskan untuk memulainya dulu.
“Kau kacau sekali” ujar Gusta mengawali “kau berpikir terlalu banyak sepertinya—well, aku memang tidak kenal kau, tapi aku tahu Bhumi”.
“Aku ingin sekali mendengarnya langsung dari Bhumi, tapi dia selalu menolak” tukas Bayu.
“Aku tidak mau berpura-pura aku tidak tahu apa yang terjadi. Oke, aku memang tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua, tapi aku tahu bahwa . . .”
“Bahwa kami akan berakhir sebentar lagi . . .” sahut Bayu melanjutkan.
Tepat seperti itulah yang akan dikatakan Gusta. Dan dia memutuskan untuk diam sebentar.
“Kau mencintainya?” tanya Gusta kemudian.
“Aku tidak mengerti kenapa selalu diberi pertanyaan semacam itu. Pertanyaan seperti itu, untukku, tidak membutuhkan jawaban”.
“Aku yakin, kau tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi, bahwa hubungan kalian harus berakhir—karena memang sudah seharusnya seperti itu . . .”
“Aku benci kalau harus menghadapi kenyataan seperti ini”.
“Seperti apa?”
“Bahwa aku harus merelakan orang yang aku sayangi agar dia bahagia bersama orang lain”.
“Sayangnya, kadang kita memang harus seperti itu”.
Bayu menatap Gusta dengan tajam, seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Mudah mengatakannya, apalagi bagimu” tukas Bayu dengan nada jengkel, tiba-tiba saja dia ingin sekali melukai Gusta “Sekarang katakan semua padaku, karena aku tidak peduli aku mendengar kenyataannya dari siapa!”
“Tenanglah Bayu,” kata Gusta pelan, gemetar “aku ingin sekali menjelaskan semua padamu, tapi aku tidak mau, hanya karena aku tidak mau terlalu jauh mencampuri hubungan kalian . . .”
“Screw you, bastard!!!” sengal Bayu “dengan menjadi orang ketiga dalam hubungan kami, kau pikir itu tidak termasuk mencampuri hubungan kami ?! Kau sudah terlalu jauh !!!”
“Apa maksudmu dengan aku sebagai orang ketiga?!” sahut Gusta, setengah mati dia kebingungan.
Bayu seketika terlonjak, kebingungan menyelimuti keduanya.
Bayu menggeleng, “Kau sama saja dengan Bhumi . . .” lalu Bayu keluar dari mobil Gusta dengan wajah merah padam. Gusta mengikuti Bayu keluar mobil.
“It’s not me . . .” kata Gusta ketika Bayu hendak meninggalkan Gusta dengan hati panas.
Bayu berbalik “Apa?”.
“It’s really not me . . . “ ulang Gusta, membuat Bayu menghampirinya kembali.
“Maksudmu,“ tanya Bayu “kau tidak berusaha mendapatkan Bhumi kembali?”
Gusta menggeleng pelan “Aku tidak pernah berusaha membuatnya kembali padaku, bahkan saat ini”.
Tiba-tiba Bayu mencengkeram kerah kemeja Gusta “Tell me . . .”.
“I can’t, aku akan membiarkan Bhumi sendiri yang mengatakannya” jawab Gusta.
Bayu mencengkeram lebih keras “Just tell me!!!”.
Gusta diam.
Dan Bayu mendorongnya sekeras mungkin hingga tubuh Gusta membentur sisi mobilnya.
“Kau tidak bisa memahamiku, bukan?” kata Bayu pasrah lalu berjalan kembali ke motornya.
Gusta masih terdiam tak percaya, kaget dengan apa yang baru saja dialaminya, bukan soal Bayu yang membentaknya dan mencengkeram kerah kemejanya, tapi bahwa ternyata Bayu beranggapan bahwa Gusta-lah orang ketiga.
Gusta mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, menekan beberapa nomor dan menelepon.
“Bhumi, kau harus cepat menyelesaikannya, bukan demi dia—kali ini aku memintamu demi Bayu . . . aku tidak tega melihatnya seperti itu . . .”
“Seperti apa?” dari seberang, Bhumi bertanya balik dengan nada luar biasa cemas.
Gusta menutup telepon.
Bhumi memandangi layar ponselnya dengan agak kesal. Dia benci sekali dengan sifat Gusta yang selalu menutup telepon sebelum pembicaraan mereka selesai. Namun, bukan itu yang saat ini dipermasalahkan oleh Bhumi. Apa yang baru saja dikatakan oleh Gusta membuat Bhumi harus berpikir dua kali lebih keras dari biasanya. Berpikir secara rasional untuk mengambil keputusan yang benar.
Bhumi sebenarnya telah memutuskan, hanya saja dia masih sangat bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Bayu. Bayu berhak tahu apapun itu, tapi Bayu juga berhak merasa aman. Selama ini, Bayu telah menjadi seseorang yang mampu memberikan apa yang sangat dibutuhkan Bhumi : perhatian yang ikhlas. Dan sekarang, saat Bhumi telah menemukannya dari orang lain, jahat sekali kalau Bhumi harus meninggalkan Bayu hanya karena itu.
Tapi, bagaimanapun, semuanya telah berubah, benar-benar semuanya telah berubah. Bukan karena Bhumi tidak butuh perhatian dari Bayu, namun karena Bhumi telah jatuh cinta kepada orang lain. Seseorang dari masa lalunya. Cintanya yang dulu sempat terhalang. Dan sekarang, setelah rasa itu datang lagi, Bhumi ingin sekali untuk tidak menyia-nyiakannya.
Bayu . . . maafkan aku . . .
Bahkan sekarang, tidak ada lagi foto Bayu di dalam dompet Bhumi. Konyol memang mengetahui mereka melakukannya—memasang foto pacar mereka di dalam dompet mereka, tapi mereka dulu sangat tidak peduli. Mereka hanya ingin menyayangi dan mengagumi satu sama lain.
Namun itu dulu . . .
Sekarang, Bhumi telah menggeser foto Bayu, memindahkannya entah kemana dalam bagian lain dompetnya. Bhumi tahu itu berat, seberat saat dia memutuskan untuk menggeser Bayu dan meletakkannya di bagian lain hatinya. Rasa berat itu, lebih seperti menyesal. Kebanyakan sekarang yang terpikir adalah karena Bhumi merasa belum dapat membalas apa yang diberikan Bayu.
Dalam kebingungannya, Bhumi akhirnya memutuskan untuk menelepon seseorang.

“Ada apa?”
“Aku bingung . . . baru saja Gusta meneleponku, sepertinya dia baru saja bertemu Bayu dan entah apa yang terjadi . . .”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu, aku mencintaimu, kau tahu itu, tapi aku tidak mau menjadi orang brengsek, aku tidak mau melukai kalian berdua, aku tidak punya pilihan lain selain memutuskan”.
Tidak ada suara dari seberang.
“Aku mencintaimu”.
Masih tidak ada suara dari seberang.
“Aku mohon, katakanlah sesuatu”.
“Maafkan aku,” akhirnya suara dari seberang berbicara “aku hanya merasa bersalah, seandainya kita tidak bertemu . . .”
“Seandainya kita tidak bertemu . . .tidak, kau tidak boleh berkata seperti itu, kita memang sudah seharusnya bertemu”
Terdengar helaan hapas yang panjang dari seberang.
“Aku hanya bisa menunggumu, Bhumi. Tapi aku harap keputusanmu ini telah kau pikirkan matang-matang. Karena, aku tahu Bayu tidak seharusnya mengalami hal seperti ini, dia pantas bahagia”.
“Ya aku tahu,” jawab Bhumi “terima kasih”.
Dan setelah Bhumi menutup teleponnya, dia kembali menekan beberapa digit nomor, dan dengan ragu dia mendekatkan ponselnya ke telinganya.
Nada sambung.
Kembali nada sambung.
Bhumi menunggu dengan cemas.
Nada sambung lagi.
Dan akhirnya suara Bayu terdengar “Sibuk, tinggalkan pesan jika cukup penting”.
“Bay, ada yang harus kita bicarakan, kau benar, kita memang tidak baik-baik saja. Aku tunggu di café biasanya sore ini—seperti yang biasa kita lakukan . . .”.
Bhumi menghela napas. Beban berat yang dulu di pundaknya, kini telah merosot tepat di atas dadanya.

Menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Dan kesabaran yang dipaksakan telah membuat Bayu jengkel sekali. Dia telah duduk sendirian di sebuah café selama hampir tiga jam lamanya, café yang biasanya dia jadikan tempat menghabiskan sore hari bersama Bhumi.
Sementara, di sisi lain kota, Bhumi juga merasa sangat kesal, tiba-tiba saja motornya mogok. Dia ingin berjalan, tetapi dia pikir itu akan terlalu jauh. Percuma juga dia naik taksi, karena jalanan sedang macet. Beberapa pengemudi yang melewati Bhumi sempat membicarakan kecelakaan di jalan tersebut.
“Oh, oke” Bhumi berkata sendiri lalu menelepon Bayu, hendak meminta maaf karena mungkin dia akan telat.
Nada sambung.
Suara telepon diangkat.
“Bayu, maafkan aku, mungkin aku agak . . .” sebelum Bhumi menyelesaikan kata-katanya, telepon terputus, dan hal yang kemudian disadarinya adalah bahwa batere ponselnya habis.
“Fuck!” umpatnya pelan.
Dia kebingungan, namun akhirnya dia memutuskan untuk menitipkan motornya yang mogok di sebuah toko di tepi jalan. Dirinya sendiri menyeberang dan memanggil taksi yang sedang melaju berlawanan dengan arah tujuan Bhumi semula.
Sekarang Bhumi hendak menuju rumah Gusta. Dia pikir Gusta dapat mengantarkannya ke café tempat Bayu menunggu.

“What the f. . .” sengal Bayu pelan. Dia merasa heran sendiri kenapa Bhumi menelepon hanya untuk mengatakan maaf dan hal yang tidak jelas. Biasanya, Bayu akan khawatir saat terjadi hal yang seperti itu, dan biasanya pula, Bayu hanya akan berusaha sebisa mungkin untuk berpikir positif. Namun, kali ini, yang dirasakannya Bayu bukan lagi khawatir, melainkan jengkel luar biasa. Dia pikir, Bhumi seharusnya tahu bahwa Bayu benci sekali menunggu—apalagi ini telah melebihi tiga jam. Apalagi di luar sana, mendung tebal tampak menggelayuti sore itu.
Ketika hampir terlalu sore, Bayu akhirnya menelepon Emill dan mengajaknya ke suatu tempat. Emill sepertinya menurut saja.

“Dia sudah sangat sinting membiarkanmu menunggu selama itu” kata Emill sementara tangannya dengan sigap mengendalikan setir mobilnya.
Bayu diam saja.
“Jadi,” tanya Emill ragu “kita mau kemana?”
“Rumah Gusta”.
Emill menurut.
Emill berhenti tepat di depan pagar rumah Gusta. Tapi akhirnya dia memundurkannya sedikit karena mobil Gusta ada di depannya, dan Emill tidak mau Gusta langsung tahu begitu saja bahwa Emill dan Bayu ada di situ.
Emill dan Bayu kembali menunggu. Kali ini, Bayu benar-benar memaksakan batas kesabarannya untuk meluas sedikit. Dia terus-terusan mencoba menghubungi ponsel Bhumi, namun selalu tidak aktif.
Dan ketika Bayu mencoba untuk yang kelima belas kalinya, Emill berbisik seru “Itu Bhumi”.
Bayu dan Emill mengintip dari balik pagar. Bhumi, Gusta dan Ghita sedang berjalan mendekati pagar, sepertinya mereka hendak keluar.
Emill beralih pada Bayu. Dia tampak lebih diam dari biasanya. Luar biasa diam. Samar-samar, Emill mengira mata Bayu mulai berair.
Dan memang begitulah adanya, mata Bayu panas, entah karena dia ingin menangis atau karena rasa kesal yang begitu besar dan melandanya terus-terusan.
“Bayu benci sekali harus menunggu, dan sebenarnya dia tidak perlu menunggu selama itu kalau saja motorku tidak mogok dan tidak ada kecelakaan sialan itu” Kata Bhumi.
“Bhumi,” kata Ghita pelan “sepertinya kau masih belum bisa melepaskannya, sepertinya kau masih mencintainya, aku rela kalau harus mundur, dari awal aku tidak pernah bermaksud untuk . . .”
Emill dan Bayu terperanjak.
“Tidak,” sahut Bhumi “bukan salahmu Ghita, dan aku juga menolak mengakui ini salahku, karena perasaan ini tiba-tiba muncul kembali dan aku tidak bisa menolaknya”
“Kita hampir saja berhasil dulu, kalau saja waktu itu aku tidak sekolah di luar Jawa, kita akan berhasil” kata Ghita.
“Tidak masalah,” kata Bhumi “yang paling penting sekarang adalah kita sudah disini, dan aku akan menjelaskan semuanya pada Bayu”
“Tidak perlu,“ kata Bayu tiba-tiba muncul menghadang jalan Bhumi “karena aku sudah mendengarnya”.
Gusta, Ghita dan Bayu seketika mundur saking kagetnya.
“Aku telah menunggumu selama tiga jam lebih, aku maafkan untuk yang itu” ujar Bayu, suaranya bergetar hebat, siapapun yang mendengarnya akan yakin bahwa Bayu berusaha menahan tangis yang bercampur dengan marah “Tapi aku tidak bisa berpikir logis kenapa kau tidak mengatakan ini sejak awal?”
Bhumi mendekat, hendak menjawab ketika Bayu langsung menimpali “Aku pernah bilang bahwa aku akan melakukan banyak hal untuk membuatmu bahagia, termasuk merelakanmu . . .” Bayu merasa darah di dadanya di sedot keluar dengan sangat kejam “hanya karena aku menyayangimu, Bhumi”.
“Maafkan aku . . .” kata Bhumi. Ghita tampak sangat khawatir, wajahnya seperti menunjukkan isyarat yang bisa saja diterjemahkan sebagai “Aku melukai orang yang tidak melakukan salah padaku”.
“Aku tidak mengharapkanmu untuk melakukan hal yang sama, aku hanya ingin kau jujur . . . bahwa kau tidak mencintaiku lagi”.
“Aku mencintaimu, Bayu” sahut Bhumi,
“Ya!!!” tukas Bayu dengan keras “tapi kau tidak lagi jatuh cinta kepadaku, kenapa itu saja terasa sulit untuk kau ucapkan Bhumi?! “.
Bhumi tertunduk. Perasaannya galau, sempat terbesit dalam pikirannya untuk meninggalkan Ghita dan kembali pada Bayu, tapi pikiran seperti itu ditepisnya jauh-jauh. Karena, satu hal yang disadarinya sekarang adalah bahwa jika hubungannya dan Bayu harus berakhir, maka sekaranglah saatnya.
“Aku terbiasa takut dekat dengan orang lain, karena aku takut jatuh cinta dan tersakiti, dan” Bayu berhenti di tengah perkataannya, menghela napas cukup panjang dan meneruskan “dan kau datang, made me whole again, then why do you have to hurt me this deep? Take the biggest part of my heart and left it dying”
“Aku tidak pernah bermaksud untuk . . .”
“Kau pengecut” kata Bayu pelan, baru kali ini dia merasa benci pada dirinya sendiri karena telah mengatakan hal semacam itu kepada orang yang sangat dicintainya.
“Aku sudah meninggalkan orangtuaku, membangkang, dan mengatakan ketidaknormalanku pada mereka dan memutuskan untuk tak kembali, I did it all just to be with you . . .”
Bhumi hendak berkata tapi Bayu menimpali “Aku tidak pernah berpikir itu berlebihan, karena aku hanya menuruti apa yang menurut hatiku benar. Namun, seharusnya aku tahu, bahwa benda yang sejak dulu telah hancur seperti hatiku ini, hanya akan mengatakan sesuatu yang akan menyakitiku”.
Mereka saling diam.
“Maafkan aku Bayu”
Bayu tidak segera menjawab. Setelah menghela napas panjang, Bayu berkata “I blame you for nothing, but I forgive you for everything . . . and now, that we have met the end, it’s time to say goodbye. . .”
Bayu memaksakan diri untuk tersenyum, dan menoleh sebentar pada Gusta dan Ghita, Bayu tidak tahu harus mengatakan apa pada Gusta dan Ghita, jadi dia hanya menatap mereka dengan pandangan lesu.
Bayu berbalik dan berjalan menjauh. Emill mengikuti.
“Bayu,” panggil Bhumi pelan.
Bayu hanya berhenti namun tidak berbalik.
“Aku . . . “
“Don’t. . .” kata Bayu.
“Aku mencin. . .”
“I said don’t !!!” sengal Bayu, masih tak mau berbalik, karena air matanya mulai meleleh turun.
Mereka diam.
Tiba-tiba hujan turun.
“Aku akan masih mencintaimu” kata Bhumi.
Seketika Bayu berbalik, berlari ke arah Bhumi dan mendorongnya, sehingga mereka berdua terjerembab.
“Sudah kubilang jangan katakan itu!!!” teriak Bayu, tangannya membabi buta menghajar tubuh Bhumi, Bhumi tidak membalas—dan tidak akan membalas, dia hanya menangkisnya.
“I hate you!!!” teriak Bayu berulang-ulang, sementara tangannya masih terus melemparkan pukulan-pukulan keras, beberapa kali mengenai wajah, dada, dan lengan Bhumi.
Ghita yang sangat ketakutan hampir saja melesat untuk menghentikan Bayu, tapi Gusta menghalanginya. Dan Ghita segera mengerti.
“I really hate you!!!”
Bayu melepaskan pukulan terakhir yang paling keras, namun Bhumi menangkis dengan lengannya. Setelah itu, Bayu mundur, dan menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Dia benar-benar tidak bisa menahan tangisnya.
“I love you too much” kata Bayu terisak.
Bhumi yang masih merasa pening, memaksakan dirinya untuk mendekati Bayu dan seketika menariknya ke dalam pelukannya.
Bhumi tidak peduli akan dihajar atau bahkan dibunuh, dia benar-benar tidak peduli. Karena dia baru saja membunuh orang yang mencintai dirinya dengan sangat. Dan Bhumi membunuhnya dengan cara yang sangat tidak pantas.
Bayu tidak mau lagi melukai Bhumi, Bayu melukainya karena Bayu tidak tahu harus berbuat apa. Sekarang, saat dalam pelukan Bhumi, Bayu berusaha sekeras mungkin untuk merasakan panas orang yang sedang memeluknya, aroma orang yang sangat dikenalnya. . . yang dulu sangat dikenalnya. Dan Bayu merasa ingin merasakannya untuk terakhir kalinya, merasa ingin mengingatnya untuk seumur hidupnya . . .

This crush has been falling desperately
And the rain has become the witness of both the beginning and the ending
It’s now the tragedy remains its mark, deep inside both of the heart

I’ve been trying to live without you now
But I miss you sometimes
The more I know, the less I understand
And all the things I thought I knew
I’m learning them again
I’ve been trying to get down
To the heart of the matter
But my will gets weak
And my heart is so shattered
But I think it’s about
Forgiveness
Forgiveness
Even if, even if you don’t love me anymore . . .
(The Heart of The Matter—India.Arie)

Dengan ditemani Emill, dan sebuah kotak berbungkus kertas kado warna cokelat lembut, Bayu melangkah, melewati kerumunan orang yang sibuk membicarakan banyak hal.
Bayu memandang sekeliling, dilihatnya bunga-bunga yang ditata begitu rapi, dan dari jauh terlihat sebuah lukisan seorang gadis kecil sedang berlarian di sepanjang tepi kolam, mengejar bocah laki-laki. Mereka tertawa sangat bahagia.
“So, it was them”.
Bayu berhenti di depan seorang gadis berambut pendek yang tampak lebih cantik dari biasanya. Gadis itu menatapnya dengan heran, namun dia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang luar biasa besar saat Bayu berada di pestanya.
“Selamat ulang tahun, Ghita” kaya Bayu, menyerahkan kado yang dibawanya.
Ghita memang tidak tahu apa isi kado dari Bayu itu, bahkan sebenarnya Ghita tidak mengharapkan kado dari Bayu, Ghita hanya senang sekali mengetahui Bayu datang ke pestanya.
Dan Ghita memeluknya dengan saat erat.
“Hei”
Ghita melepaskan Bayu, dan Bayu menoleh kearah suara.
Bhumi berdiri di belakangnya, tersenyum padanya.
Bayu membalasnya dengan senyum yang sama manisnya.

“So,” tanya Bhumi setelah dirinya dan Bayu memutuskan untuk mengobrol di balik bayang-bayang sebuah pohon, jauh dari kerumunan pesta “kau akan pulang besok?”.
Bayu mengangguk pelan “Orangtuaku sudah mengurus segalanya”.
“Mereka pasti sangat menyayangimu”.
“Dan aku bodoh sekali telah menyakiti mereka”.
Bhumi tak menanggapi lagi.
Mereka diam.
“I’ll be missing you” kata Bayu tiba-tiba.
“I’ll be too” Bhumi tersenyum ramah, tapi tiba-tiba Bayu menangis.
“Kenapa?” tanya Bhumi “Does it still hurt? I am sorry”.
Bayu menggeleng.
“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis”.
“Come here” kata Bhumi, membuka lengannya dan membawa Bayu dalam pelukannya.
“Aku akan menemanimu semalaman kalau kau mau” kata Bhumi lembut.
“That’ll be great” bisik Bayu, tenggelam dalam tangisnya yang hening . . .

And the ending always
Comes at last
Endings always, come too fast
They come too fast
And they, pass to slow
I love you, and that’s all I know . . .
(All I Know—Five for Fighting)

Bayu melalui ujian akhirnya dengan sangat baik, dia telah berusaha keras. Dan saat baru saja pesawatnya mendarat, dia agak khawatir, dia takut bertemu denagn orangtuanya yang telah disakitinya. Namun, saat dia disambut wajah orangtuanya yang tersenyum padanya dengan sangat tulus—terlebih lagi, ibunya menangis haru, Bayu tahu dirinya telah berhasil menyeberangi aliran sungai yang sangat deras.
Kini dia berdiri di tepian sungai, dia berbalik dan melihat sebuah jalan panjang bertanah merah. Dia tahu jalan itu menuju kemana, his home is right ahead, yes, way home . . .home sweet home. . .



~ Bumi ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar