Kamis, 18 November 2010

Tanpa Jeda

Sudahlah. Mungkin dua hati yang berdentum tak butuh harmoni.
Kepastian itu membosankan! Kesempurnaan adalah jurang pemisah. Sudahlah

Mungkin kita tercipta untuk melengkapi. Mungkin konsep sejati hanya ilusi.
Mungkin hujan adalah cinta langit kepada Bumi. Mungkin.

Pertempuran dua hati. Mencoba mengikat dan dan saling memiliki.
Mereka lupa konsep paling luhur. Cinta tak akan pernah hancur.

Tinggal getir yang terkecap di lidah. Maaf yang sia-sia. Cinta yang terhempas karena nafsu yang menggelora.
Satu kata tersisa: Percuma.

Mereka membicarakan tragedi. Merangkai kalimat berbunga yang terbungkus agitasi.
Membungkus cinta dengan bingkai patah. Percuma.   


Lalu kita saling membelakangi. Meninggikan ego yang tak lagi berarti.
Setelah hampa menyapa, semua sudah sia-sia. Percuma.

Kita bergulat dgn kata, jari saling menuding dan hati berdarah.
Meleleh melalui ego yang mendidih. Berhenti di sudut jiwa yang perih.

Ketika senja dan malam bergulat dalam diam, pedang jingga cakrawala mulai menghunjam tajam.
Menelikung dalam kegelapan. Hitam.

Ketika paradoks berevolusi, dan ironi adalah produk gagal masa kini.
Lalu, kepada siapa menitipkan nurani?

Karena dusta adalah pikiran jujur yang terpotong di tengah lidah.
Takut dimuntahkan, pahit ditelan.

Sampai hening memekakkan. Sampai jeda tak tertahankan.
Sampai aksara kehilangan arti. Sampai hampa menemukan getir di lidah.

Jika harapan adalah riak yang terus bergetar, aku ingin menangkap gaungnya walau samar.

Jika "aku mencintaimu" tak lagi berarti, mengapa kita rela menunggu sampai buku jari memutih?

Jika "selamanya" adalah utopia, mengapa kita mencintai dusta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar